I.
Definisi Altruisme dan Perilaku Prososial
Altruism (Altruisme) adalah tindakan sukarela untuk membantu
orang lain tanpa pamrih, atau ingin sekadar beramal baik (Schroeder, Penner, Dovidio, & Piliavin, 1995). Berdasarkan definisi ini, apakah suatu tindakan bisa dikatakan altruistic akan bergantung pada niat si penolong. Orang asing yang mempertaruhkan dia pergi begitu saja tanpa pamit adalah orang yang benar-benar melakukan altruistic. Dalam buku Robert A. Baron dan Donn Byrne yang berjudul Psikologi Sosial, menyatakan bahwa istilah altruism kadang-kadang dugunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruism yang sejati adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain.
sumber : antiochus.over-blog.com
orang lain tanpa pamrih, atau ingin sekadar beramal baik (Schroeder, Penner, Dovidio, & Piliavin, 1995). Berdasarkan definisi ini, apakah suatu tindakan bisa dikatakan altruistic akan bergantung pada niat si penolong. Orang asing yang mempertaruhkan dia pergi begitu saja tanpa pamit adalah orang yang benar-benar melakukan altruistic. Dalam buku Robert A. Baron dan Donn Byrne yang berjudul Psikologi Sosial, menyatakan bahwa istilah altruism kadang-kadang dugunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruism yang sejati adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain.
Prosocial behavior (perilaku prososial) adalah kategori yang lebih
luas (Batson, 1998). Ia mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang
untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Secara umum,
istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan
langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin
mengandung derajat resiko tertentu. Banyak tindakan prososial bukan tindakan altruistic. Misalnya, jika anda menjadi
relawan untuk kerja amal guna menarik perhatian teman anda atau untuk menambah
pengalaman guna mencari kerja, maka anda tidak bertindak altruistic dalam
pengertian istilah itu. Perilaku prososial
bisa mulai dari tindakan altruism tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi
oleh pamrih atau kepentingan pribadi.
Perilaku prososial dipengaruhi oleh tipe relasi antar-orang. Entah itu
karena suka, merasa berkewajiban, memiliki pamrih, atau empati, kita biasanya
lebih sering membantu orang yang kita kenal ketimbang orang yang yang tidak
kita kenal. Meski demikian, memberi pertolongan kepada orang asing bukanlah hal
yang jarang terjadi. Banyak studi telah mendokumentasikan kesediaan orang untuk
membantu orang asing yang membutuhkan pertolongan.
II.
Perspektif Teoritis tentang Tindakan Menolong
A.
Perspektif Evolusi
Ilmuwan
telah lama mengamati perilaku social dikalangan spesies binatang. Charles
Darwin (1871) mencatat bahwa kelinci mengeluarkan suara ribut untuk
memperingatkan kelinci lain akan adanya predator. Beberapa jenis babon memiliki
pola khas dalam merespons ancaman. Jantan dominan mengambil sikap melindungi
kelompoknya dan bahkan menyerang pengancam. Saat kelompoknya sudah menjauh dari
ancaman, si jantan ini mempertaruhkan keselamatannya dengan tetap melindungi
kelompok. Eksistensi perilaku altruistic di kalangan binatang menimbulkan
persoalan bagi teori evolusi: jika anggots mengorbankan diri demi anggota
lainnya, mereka kecil kemungkinan akan tetap bertahan dan mewariskan gen mereka
kepada keturunannya. Lalu bagaimana predisposisi biologis untuk bertinfak
altruistic bisa bertahan dikalangan hewan dan manusia?
Menurut psikologi evolusioner, setiap
cirri yang ditentukan oleh gen yang memiliki nilai survival yang tinggi (yang
membantu individu untuk bertahan) cenderung diwariskan kepada keturunanannya.
Tendensi untuk membantu yang lain mungkin memiliki nilai survival yang tinggi
bagi gen individual, tetapi tidak selalu untuk individual itu. Bayangkan seekor
burung yang mengasuh enam anak. Separuh dari gen di setiap anaknya berasal dari
induknya. Secara bersama, keenam anak itu punya gen tiga kali lebih banyak
ketimbang induknya. Jika si induk mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan anak-anaknya,
gen khususnya sudah direplikasi. Analisis serupa dapat dikenakan pada kerabat
lain yang memiliki presentase tertentu dari gen individual. Membantu kerabat
berarti membantu kelangsungan hidup gen individual untuk generasi selanjutnya
dan karenanya ini dapat dipahami berdasarkan prinsip biologi evolusi.
Ahli sosiobiologi Robert Trivers (1971)
menekankan kemungkinan adanya basis biologis dari altruism mutual ata
resiprokal. Menurutnya, biaya/risiko potensial bagi individual dalam memberi
pertolongan kepada pihak lain akan diimbangi oleh kemngkinan untuk mendapatkan
pertolongan dari pihak lain. Akan tetapi, system saling tolong-menolong ini
terancam oleh “penipu” potensial yang menerima pertolongan namun tak mau
memberi pertolongan. Untuk meminimalkan penipuan ini, melalui seleksi alam,
muncul rasa bersalah dan tendnsi untuk saling membantu melalui cara-cara social
seperti hukuman atas orang yang tidak mengikuti aturan kelompok.
Pendekatan evolusi melahirkan beberapa
prediksi. Misalnya, hewan akan sangat membantu hewan lain yang memiliki
keterkaitan genetic dengannya. Mereka akan segera membantu kerabat dekat
ketimbang kerebat jauh atau asing (Burnstein,
Crandall, & Kitayama, 1994). Teori ini juga memprediksikan bahwa
orang tua atau induk akan lebih altruistic kepada keturunan yang sehat
ketimbang yang tak sehat. Studi-studi
terhadap manusia mendukung prediksi ini, meskipun evolusi bukan satu-satunya
interpretasi untuk temuan studi itu (Dovidio et al., 1991; Wbster, 2003).
Prediksi lain menyebutkan bahwa ibu
biasanya akan lebih banyak membantu anaknya ketimbang ayahnya. Alasannya adalah
di banyak spesies, pria punya potensi biologis untuk menjadi ayah dari banyak
keturunan dan karenanya dapat meneruskan gennya tanpa terlalu banyak
berinvestasi di satu bayi saja. Wanita hanya dapat melahirkan relative sedikit
keturunan dan karenanya harus membantu keturunannya untuk berjuang hidup guna
meneruskan gennya.
Pendapat bahwa tindakan membantu pihak
lain secara genetic adalah bagian dari “sifat manusia” merupakan penndapat yang
masih controversial (Batson, 1998). Belum jelas bagaimana teori ini manunjukkan
kemungkinan bahwa pemeliharaan diri tidak selalu merupakan motif utama.
Disposisi biologis ke arah sikap mementingkan diri dan agresi mungkin
berdampingan dengan disposisi biologis ke arah sikap membantu dan merawat orang
lain (Bell, 2001; Kottler, 2000).
B.
Perspektif Sosiokultural
Kritik terhadap perspektis evolusi
menyatakan bahwa factor-faktor social adalah lebih penting ketimbang factor
biologi dalam menentukan perilaku prososial
dikalangan manusia. Donald Campbell (1975) mengatakan bahwa evolusi genetik
mungkinmembantu menjelaskan beberapa perilaku prososial dasar seperti pengsuhan orang tua, namun ia tidak berlaku
untuk contoh ekstrem seperti aksi membantu orang asing yang sedang kesulitan.
Karena perilaku prososial umumnya
bermanfaatnya bagi masyarakat, maka ia menjadi bagian dari aturan atau norma
social.
·
Kemiripan
Kultural: Norma Dasar Tanggung Jawab, Resiprositas, dan keadilan.
Ada tiga norma social dasar yang lazim
dalam masyarakat manusia. Pertama, norm of social rensposibility (norma
tanggung jawab social) menyatakan bahwa kita harus membantu orang lain yang
bergantung kepada kita. Orang tua diharuskan merawat anak-anaknya dan agen
social mungkin campur tang jika irang tua tidak menjalankan kewajibannya itu.
Guru diharuskan membantu siswanya; pelatih harus memerhatikan timnya; dan
sesama karyawan diharapkan saling membantu. Aturan moral dan kegamaan di banyak
masyarakat juga menekankan tugas untuk membantu orang lain. Terkadang kewajiban
ini dijadikan undang-undang atau hukum.
Kedua, norm of reciprocity (norma
resiprositas) menyatakan bahwa kita harus membantu orang lain yang pernah
membantu kita. Beberapa studi menunjukkan bahwa orang lebih cenderung membantu
orang lain yang pernah membantu mereka. Dalam sebuah studi, sepasang mahasiswa
bekerja secara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan suatu tugas penilaian
(Regan, 1968).
Ketiga, kelompok manusia juga
mengembangkan norm of social justice (norma keadilan social), aturan tentang
keadilan dan distribusi sumber daya secara merata. Salah satu prinsip keadilan
adalah ekuitas (kesetaraan). Menurut prinsip ini, dua orang yang memberi
kontribusi yang sama harus mendapatkan imbalan yang sama. Jika satu orang
menerima lebih banyak daripada yang satunya, maka keduanya akan merasa tekanan
untuk memulihkan kesetaraan dengan meredistribusikan imbalan itu.
Banyak studi (misalnya Walster, Walster,
& Berscheid, 1978) menunjukkan bahwa orang yang diuntungkan berusaha
memulihkan kesetaraan jika mereka bisa. Dalam beberapa eksperimen, subjek riset
memainkan game di mana satu orang , meski bukan kesalahannya, kehilangan uang
sedangkan partnernya memenangkan banyak uang (Berscheid & Walster, 1967).
Pada akhir permainan, pemenang (subjek riil) diberi kesempatan untuk memberikan
sebagiian kemenangannya kepada partner yang kalah ada tendensi kuat untuk
memberi sejumlah uang kepada yang kalah, meskipun pemenangnya meraih kemangan
secara sah. Sebaliknya, dalam kondisi dimana kedua partner sama-sama menang,
hanya ada sedikit kecenderungan untuk berbagi hadiah.
Norma-norma itu tanggung jawab social,
resiprositas, dan keadilan social memberikan basis cultural untuk perilaku prososial. Melalui proses sosialisasi,
individu mempelajari aturan ini dan berperilaku sesuai dengan pedoman perilaku prososial. Riset menunjukkan bahwa
orang cenderung membantu saudara dan kawannya ketimbang orang asing. Ini dapat
dijelaskan dalam term norma social: kita merasakan tanggung jawab yang lebih
besar atas orang yang dekat dengan kita, dan kita berasumsi bahwa mereka akan
membantu kita jika kita membutuhkan (Dovidio et al., 1991).
No comments:
Post a Comment