Tuesday, 28 June 2016

Psikologi Sosial : Altruisme dan Perilaku Prososial (3)

I.                              Research Highlight                   
Donor Darah. Penjelasan tentang hubungan personalitas dan tindakan membantu datang dari studi terhadap orang yang

altruisme

secara teratur memberi donor darah. Banyak orang tak pernah menyumbangkan darahnya atau jarang melakukannya. Namun ada sekelompok kecil orang yang sering menyumbang darahnya, mungkin setiap 2 atau 3 bulan sekali. Dijelaskan pada sebuah riset oleh Jane Piliavin dan Peter Callero (1991) memberikan beberapa jawaban.
            Mereka menemukan bahwa para pendonor ini menyumbangkan darahnya karena mereka menganggap itu sudah seharusnya, bukan karena diminta menyumbang. Mereka menganggap donor darah sebagai aktivitas yang bermakna yang memperkaya konsep diri mereka. Jadi, pendonor yang teratur ini lebih mungkin untuk sepakat pada pendapat bahwa “donor darah adalah bagian penting dari diri saya” dan bahwa “bagi saya, menjadi pendonor darah lebih dari sekedar menyumbangkan darah”. Dengan kata lain, tindakan donor darah dapat menjadi status dari prososial.

II.                Intervensi Orang Sekitar: Membantu Orang Asing Yang Membutuhkan

Setelah mengulas perspektif utama tentang perilaku menolong, kini kita akan melihat dari dekat tiga bentukpertolongan yang berbeda. Kita mulai dengan bystander intervention (intervensi orang sekitar), setelah teknis untuk tindakan membantu orang yang kesulitan atau sedih. Cerita in the news di atas mengilustrasikan konsep ini.
            Riset psikologis terhadap intervensi orang sekitar dipicu bukan oleh tindakan heroism tetapi oleh kasus pembunuhan yang terkenal, pada 1964, seorang wanit muda bernama kitty Genovese pulang kerumahnya pada larut malem. Saat sampai didekat apartemennya di kew Gardens, New York, dia diserang dan ditikam berkali-kali. Selama setengah jam bergelut dengan penyerang, kitty berkali-kali berteriak bahwa dirinya ditikam dan meminta tolong. Sekitar 30 orang yang tinggal disekitar kejadian mengatakan mereka mendengar jeritan itu. Tetapi, tak satu pun yang dating membantu atau menelepon polisi. Polisi baru ditelepon selama 20 menit kemudian setelah korban tewas; mereka baru dating dalam waktu 2 menit.bahkan saat itu tak satu pun orang keluar ke jalan sampai ambulan tiba danmembawa si korban. Mengapa tak satu pun tak menolong kitty? Pada saat itu banyak pengamat yang melihat kejadian itu sebagai tanda-tanda berkembangnya sikap apati dan ketidakpedulian pada penderitaan manusia. Akan tetapi, para psikologi social mempelajari tragedi itu dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengetahui mengapa orang sekitar terkdang tidak membantu orang yang kesulitan didekatnya dan mengapa ada pula yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk menolong orang asing. Banyak riset awal tentang perilaku membantu diinspirasi oleh kematian kitty Genovese. Riset itu mendokumentasi kan arti penting dari beberapa ciri situasi, termasuk kehadiran orang lain, sifat dari ligkungan fisik, dan tekanan batasan waktu.

A.    Kehadiran orang lain
Salah satu mengejutkan dari kasus kitty Genovese adalah ada begitu banyak orang mendengar jeritan kitty namun tak satu pun yang menelepon polisi. Banyak pengamat yang menginterprestasikan kurangnya reaksi ini sebagai tanda-tanda penyebrangan ambruknya moral dan aliensi dalam masyarakat. Hidpotesis berbeda diberikan oleh psikolog social Bibb Latane dan John Darly (1970). Mereka mengatakan bahwa kehadiran banyak orang itulah yang mungkin memnyebabkan kurangnya pertolongan. Mereka yang menyaksikan pembunuhan mungkin berasumsi bahwa orang lain sudah menelepon polisi dan karenanya mereka tidak berkewajiban untuk campur tangan. Latane dan Darley menyebut ini sebagai bystander effect (efek orang sekitar).
Untuk menguji ide bahwa banyak saksi bisa mempengaruhi tindakan penolong, Latane dan Darley (1970) mendesain serangkaian eksperimen, baik di laboratoriummaupun di setting alamiah. Dalam satu eksperimen, mahasiswa yang ambil bagian dalam satu studi mendengar ada “keadaan darurat” diruang sebelah. Mereka lebih mungkin merespon jika mereka sendirian ketimbang jika mereka menganggap adaorang lain yang juga mengetahui situasi itu. Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu akan memberi bantuan, dan semakin lama jeda sebelumnya bantuan diberikan.
Banyak studi yang mereplikasi temuan ini dalam setting yang berbeda. Misalnya, Latane dan Darley (1970) melakukan studi pangan di Nu-way Beverage Canter di Suffern, New York. Periset mementaskan lakon drama perampokan dengan bantuan saleman dan dua actor yang bereran sebagai penjahat. Perampokan itu dilakukan saat ada satu atau dua orang yang sedang berada di took. Ketika salesman masuk ke belakang untuk pura-pura mengecek sesuatu, dua lelaki masung sambil mengatakan “mereka tidak akan kehilangan ini” dan keluar sambil membawa sekeranjang bir. Seperti yang di duga, satu orang yang menyaksikan pencurian lebih mungkin melaporkan pencurian itu ketimbang dua orang.
Mengapa kehadiran orang lain menghambat tindakan menolong? Analisis pengambilan keputusan memberikan beberapa penjelasan. Salah satunya adalah diffusion of responsibility (disfusi tanggung jawab) yang muncul akibat kehadiran orang lain. Jika hanya satu orang menyaksikan korban yang menderita, dia sepenuhnya menganggung jawab untuk merespon situasi dan akan merasa bersalah jika tidak campur tangan. Namun, jka ada beberapa orang yang hadir, bantuan bisa dating dari beberapa sumber. Kewajiban membantu dan biaya potensian dati tindakan tidak membantu akan berbgi. Jika seseorang tahu akan ada orang lain yang hadir namun tidak dapat bebica kepada mereka atau melihat perilaku mereka, seperti dalam kasus kitty Genovese, orang itu mungkin berasumsi bahwa orang lain sudah melakukan sesuatu untuk menolong, seperti menelepon polisi.
Eksperimen mendukung ide ini, yakni yang kursial adalah bukan hanya jumlah orang yang hadir tetapi juga berkurangnya rasa tanggung jawab personal sebagai akibat dari berada dalam satu kelompok. (Ross,1971). Riset juga menunjukkan bahwa pemimpin suatu kelompok-mungkin orang yang bertanggung jawab tas aktivitas kelompok-lebih mungkin untuk memberi bantuan kepada korban. (Baumeister, Chesnerm SEndersm & Tice, 1988). Tampak bahwa pemimpin kelompok kurang terpengaruh oleh difusi tanggung jawab ketimbang anggota kelompok.
Penjelasan kedua tentang efek orang sekitar menegaskan adanya ambiguitas dalam interprestasi situasi. Calon penolong terkadang tidak yakin apakan suatu situasi benar-benar berbahaya. Perilaku orang sekitar lainnya dapat memengaruhi cara kita mendefinisikan situasi dan bereaksi terhadapnya. Jika orang lain mengabaikan situasi atau bertindak seolah-oleh tidak ada Sesutu yang terjadi, kita juga akan berasumso bahwa tidak ada emergensi. Dampak orang sekitar terhadap interpretasi situasi ini ditunjukkan oleh Latane dan Darley (1970). Dalam eksperimen ini, mahasiswa duduk mengisi kuesioner. Setelah beberapa menit, muncul asap di ruangan melalui ventilas. Tidak lama kemudian asapnya semakin tebal sehingga sulit untuk melihat dan bernapas normal. Ketika subjeknya sendiri, ia biasanya berkeliling ruangan untuk meneliti sumber asap, dan 75 persen melaporkan asap itu kepada periset dalam waktu 4 menit kemudian. Dalam kondisi di mana subjek berada dalam ruangan bersama dua asisten periset yang sengaja mengabaikan asap, hanya 10 persen subjek yang melaporkanadany asap.
Factor ketiga dalam efek orang sekitar adalah evaluation apprehension (pemahaman evaluasi). Jika kita tahu bahwa orang lain melihat tindakan kita, kita mungkin merasa “demam panggung”. Kita mungkin cemas kalau-kalau kita melakukan kekeliruan atau orang lain akan mengevaluasi reaksi kita secara negatif. Subjek dalam ruangan berasap mungkin takut kelihatan bodoh atau pengecut jika menunjukkan kecemasan terhadap asap, sementara ada orang lain yang tampak tenang. Keinginan untuk menghindari biaya penolakan social ini dapat menghambat tindakan. Tentu saja, ada situasi dimana pemahaman evaluasi membantu kita lebih condong untuk membantu. Jika kita melihat seseorang jatuh dari tangga atau kena serangan jantung, respon yang diharapkan adalah kita memberi bantuan. Dalam situasi ini, pengetahuan adanya orang lain yang melihat kita mungkin akan meningkatkan tendensi kita untuk membantu (Schwartz & Gottlieb, 1980).

B.     Kondisi Lingkungan
Setting fisik juga mempengaruhi tindangan penolong. Apakah anda akan berhenti dan menolong seorang pengendara sepeda motor yang jatuh pada saat cuaca cerah, atau pada saat hujan deres? Pada saat gelap atau terang? Di jalan pendesaan yang sepi atau di tengah kota? Banyak riset mendokumentasi kan dampak dari kondisi lingkungan terhadap tindakan membantu.
Efek cuaca diteliti dalam dua studi oleh Cunningham (1979). Dalam satu studi, penjalan kaki didekati oleh periset untukmengisi kuesioner. Dalam cuaca cerah dan suhu yang nyaman, orang lebih mau membantu. Dalam studi kedua, yang dilakukan di restoran dengan suhu yang diatur. Cunningham menemukan bahwa konsumen memberi lebih banyak tip jika cuaca cerah. Riset lain menunjukkan bahwa orang lebih mungkin membantu pengendara motor yang jatuh pada cuaca cerah ketimbang pada cuaca hujan (Ahmed, 1979) dan pada siang hari ketimbang pada malam hati (Skolnnick, 1977). Ringkasanya, cuaca mempengaruhi tindakan menolong.
Stereoip umum menyatakan bahwa penduduk kota lebih kurang bersahabat dan kurang menolong, sedangkan penduduk pendesaan lebih membantu dan ramah. Riset menemukan bahwa dalam hal membantu orang asing yang kesulitan, besarnya kota ikut berpengaruh (Levine, Martinez, Brase, & Sorenson, 1994). Orang asing lebih mungkin ditolong dikota kecil ketimbang di kota besar. Tampaknya ada sesuatu dikota kecil yang mendorong orang mau membantu, dan sebaliknya ada sesuatu di kota besar yang mengurangi  kesediaanorang untuk membantu. Secara kebetulan, studi menunjukkan bahwa ukuran kota dimana orang tinggal terkait dengan tindakan membantu; yang berpengaruh adalah setting lingkungan dimana kebutuhan itu muncul.
Amato (1983) meneliti perilaku menolong di 55 komunitas Australia, mulai dari desa kecil sampai kota besar. Untuk memastikan sampel perilaku prososial yang memadai, lima tipe menolong yang berbeda di pelajari: mahasiswa meminta pejalan kaki untuk menuliskan warna favoritnya sebagai bagian dari proyek kampus, seorang pejalan kakitak sengaja menjatukan amplop di pinggir jalan, permintaan sumbangan uang untuk Multiple Sclerosis Society, seorang sales memberi petunjuk jalan yang salah kepada seseorang, dan seorang lelaki yang kakinya diperkirakan jatuh dan meminta tolong. Hasil studi ini disajikan. Pada empt dari lima ukuran pertolongan, persentase orang yang membantu secara signifikan lebih besardikota kecil ketimbang dikota besar. Satu pengecualian adalah kasus amplop yang jatuh, yang umumnya tidak membuat orang membantu.
Dalam studi yang lebih baru, Levine (2003) mengetes tingkat bantuan di kota di seluruh AS dan di dua lusin Negara lainnya. Beberapa ukuran bantuan yang berbeda digunakan: periset berperan sebagai seseorang yang tak sengaja menjatuhkan penanya, orang dengan kaki diperban yang menjatuhkan kertas di jalan, orang buta yang hendak menyebrang jalan yang ramai. Tindakan menolong lebih sering terjadi dikota dengan kepadatan penduduk rendah (lebih sedikit orang per mil persegi) dan dengan tingkat kejahatan yang rendah. Kota-kota dengan penduduk yang banyak menolong adalah Rio de janeiro, Brazil, dan San Jose di Costa Rica. Secara umum, orang di kota yang berbahasa spanyol dan Portugis adalah sangat suka menolong. Kota dengan penduduk yang kurang suka menolong adalah orang di Kuala Lumpur, Malaysia dan di New York City.

Ringakasanya, risetmenunjukkan bahwa perilaku menolong berhubungan dengan ukuran kota. Tentu saja, yang harus diingat adalah studi-studi ini hanya berhubungan dengan bantuan kepada orang yang tak dikenal. Ada sedikit bukti bahwa penghuni kota besar kurang membantu keluarga atau kawan. Banyak penjelasan yang diberikan untuk meneragkn perilaku kurang membantu di kota besar terhadap orang asing ini. Di antaranya adalah factor anonimitas kehidupan urban; kekuatan terhadap kejahatan di kota besar; terlalu banyaknya pengalaman penghuni kota yang terus-menerus dibombardir oleh stimuli, termasuk kehadiran orang lain; dan kemungkinan perasaan tak berdaya saat menghadapi borikrasi urban yang tidak responsive. Periset belum tahu penjelasan mana yang paling kuat.

No comments:

Post a Comment