A. Prasangka (Prejudice)
Prasangka
(prejudice) adalah sebuah sikap
(biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan
keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota kelompok tersebut. Trait dan tingkah laku individual mereka memainkan peran yang kecil, mereka tidak disukai (atau dalam beberapa kasus,disukai) hanya karena mereka termasuk dalam kelompok tertentu.
sumber : tabungwakaf.com
keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota kelompok tersebut. Trait dan tingkah laku individual mereka memainkan peran yang kecil, mereka tidak disukai (atau dalam beberapa kasus,disukai) hanya karena mereka termasuk dalam kelompok tertentu.
Ketika
prasangka didefinisikan sebagai tipe khusus dari sikap, dua implikasi
mengikutinya. Pertama, sikap sering kali berfungsi sebagai skema (schemas)—kerangka berpikir kognitif untuk mengorganisasi,
menginterpretasi, dan mengambil informasi (contoh Wyer&Srull 1994). Maka,
individeu yang memiliki prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu cenderung
memproses informasi tentang kelompok ini secara berbeda dari cara mereka
memproses informasi tentang kelompok lain. Sebagai contoh, informasi yang konsisten dengan pandangan
individu yang berprasangka sering kali mendapatkan perhatian lebih banyak dan
diingat lebih akurat daripada informasi yang tidak konsisten dengan
pandangan-pandangan mereka (contoh, Fiske&Neuberg, 1990, Judd, Ryan&Parke,
1991).
Kedua,
sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi
pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan
memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai (Bodenhausen,
Kramer&Susser, 1994b; Vanman dkk., 1997). Dan seperti yang akan segera kita
lihat, prasangka juga dapat dilakukan secara implisit—prasangka dapat dipicu
secara otomatis dengan mendatangkan anggota kelompok yang akan ditujukan
prasangka, dan dapat mempengaruhi tingkah laku yang muncul bahkan ketika orang
yang bersangkutan, pada umumnya, tidak menyadari eksistensi dari padangan
tersebut dan mungkin berusaha menyangkalnya bahwa orang lain memiliki pandangan
itu (contoh Fazio dkk., 1995; Fazio&Hilden, 2001).
Akhirnya,
prasangka juga dapat melibatkan kecenderungan untuk bertingkah laku secara
negatif terhadap orang yang menjadi objek prasangka. Ketika kecenderungan ini
diwujudkan dalam tingkah laku, hasilnya adalah berbagai bentuk diskriminasi.
Sebelum melanjutkan ke dalam diskusi tentang berbagai cara prasangka
diekspresikan dalam tingkah laku yang tampak, kita harus memikirkan dua
pertanyaan yang berhubungan: Mengapa, secara khusus, orang memiliki pandangan
prasangka? Apa keuntungan yang mereka peroleh dengan memilikinya?
Manusia
adalah “Cognitive Misers”—mereka
dalam kebanyakan situasi menanamkan usaha kognitif sesedikit mungkin. Kemudian,
mengapa begitu banyak orang yang membentuk dan memiliki prasangka? Penelitian
menemukan dua kesimpulan.
Pertama,
secara individu, mereka memilikin prasangka karena dengan melakukannya mereka
meningkatkan citra diri mereka sendiri (contoh, Steele, Spencer&Lynch,
1993). Ketika individu memandang rendah sebuah kelompok yang dipandangnya
negatif, hal ini membuat mereka yakin akan harga diri mereka sendiri—untuk
merasa superior dengan berbagai cara.
Kedua, karena dengan
melakukan hal tersebut kita dapat menghemat usaha kognitif. Stereotip, secara
khusus, tampaknya melakukan fungsi ini. Ketika stereotip terbentuk, kita tidak
perlu melakukanm proses berpikir yang hati-hati dan sistematis; lagipula,
karena kita “tahu” seperti apakah anggota kelompok ini, kita dapat melakukan
proses berpikir yang lebih cepat berdasarkan dorongan proses heuristik dan
semua keyakinan yang telah dimiliki sebelumnya.
A. Diskriminasi
Sikap, tidak selalu
direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak, tidak terkecuali dengan
prasangka. Dalam berbagai kasus, orang yang memiliki sikap negatif terhadap
anggota beberapa kelompok tidak dapat mengekspresikan pandangan mereka secara
langsung. Hukum, tekanan sosial, dan ketakutan akan dikucilkan—semua berfungsi
untuk mencegah orang menampilkan pandangan prasangkanya di depan umum. Diskriminasi (discrimination) adalah aksi negatif terhadap objek prasangka
rasial, etnis, atau agama—telah menurun dalam tahun-tahun terakhir ini di
Amerika Serikat dan banyak di negara lain. Sebaliknya, contoh-contoh
kriminalitas berdasarkan kebencian (hate
crimes)—kriminalitas yang berdasar
pada prasangka rasial, etnis, dan tipe prasangka lainnya—terus berlangsung dengan
frekuensi yang menganggu. Sebagai contoh, pada tahun-tahun terakhir ini, James
Byrd, seorang laki-laki Afrika Amerika , diseret dibelakang oleh sebuah truk
yang dikemudikan oleh seorang laki-laki kulit putih dengan prasangka yang
sangat tinggi, James Byrd meninggal akibat luka-lukanya. Serupa dengannya,
Mathew Shepard, seorang mahasiswa, dibunuh hanya karena ia seorang
homoseksual.Terakhir, contoh kejahatan yang paling dramatis dengan motivasi
kebencian rasial, agama, atau etnis adalah serangan tragis oleh teroris pada World Trade Center dan Pentagon pada 11
September 2011. Orang yang melakukan kejahatan ini begitu dipenuhi dengan
kebencian pada Amerika Serikat dan warganya sehingga membuat mereka dengan
senang hati mengorbankan hidup mereka untuk membunuh ribuan korban yang tidak
bersalah—orang yang belum pernah mereka temui dan tidak pernah melakukan
kejahatan apapun kepada mereka secara langsung. Akan tetapi, syukurlah,
peristiwa-peristiwa seperti itu relatif masih jarang, dan secara umum prasangka
diekspresikan lewat tingkah laku yang lebih halus. Bagaimana bentuk
diskriminasi yang halus atau samar? Penelitian oleh psikolog sosial menunjukan
beberapa kesimpulan yang menarik:
·
RASISME MODERN: Lebih halus, tetapi sama
mematikan. Pada suatu saat banyak orang merasakan tiadanya kekhawatiran untuk
mengekspresikan secara terbuka keyakinan rasis mereka (Sears, 1998). Sekarang,
tentu saja, hanya beberapa orang saja yang bisa menyatakan pandangan tersebut.
Apakah hal ini menyatakan bahwa rasisme, sebuah bentuk khusus dari prasangka,
juga telah hilang atau setidaknya menurun? Sementara hal ini mungkin terjadi,
(contoh, Martin&Parker, 1995), banyak psikolog sosial yakin bahwa,
nyatanya, apa yang telah terjadi adalah pergantian bentuk rasisme kuno (baca
“keras”) dengan bentuk yang lebih halus, yang mereka sebut dengan istilah
rasisme modern (modern racism).
Bagaimana bentuk rasisme ini? Rasisme berusaha menutup-nutupi prasangka di
tempat-tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap mengecam ketika hal itu
aman dilakukan, sebagai contoh, mereka berbagi pandangan tersebut kepada teman
dekat dan anggota keluarga yang dikenal.
·
TOKENISME: Keuntungan kecil, biaya tinggi. Ini
adalah cara lain di mana diskriminasi terjadi di dunia modern. Bayangkan anda
dikontrak untuk sebuah pekerjaan yang sangat anda inginkan dan dengan bayaran
awal yang lebih tinggi daripada yang anda harapkan. Pertama kali, Anda merasa
senang melihat keberuntungan Anda. Sekarang bayangkan Anda mengetahui bahwa
Anda memperoleh pekerjaan tersebut hanya karena Anda adalah anggota dari
kelompok tertentu—kelompok di mana anggotanya harus dipekerjakan oleh
perusahaan untuk menghindari tuduhan diskriminasi. Bagaimana reaksi Anda? Dan
bagaimana pegawai lain dalam perusahaan Anda, yang mengetahui bahwa Anda dikontrak
untuk alasan tersebut, akan memandang Anda? Bukti yang berkembang menunjukan
bahwa orang yang dipekerjakan sebagai sebuah token mewakili kelompok mereka
dipersepsikan cukup negatif oleh pegawai lain dalam perusahaan. Sebagai contoh,
Heilman, Block, dan Lucas (1992) menemukan bahwa pelamar pekerjaan yang
diidentifikasi sebagai pegawai “yang harus disetujui” dipersepsikan kurang
kompeten oleh orang yang meninjau lamaran mereka daripada pelamar yang tidak
diidentifikasikan demikian. Dalam bentuk umum, biasanya, tokenisme melibatkan
tampilan tingkah lakupositif yang palsu di depan sasaran prasangka dan kemudian
menggunakan hal lain ini sebagai sebuah alasan atau justifikasi terhadap bentuk
diskriminasi lain. Kapan pun hal itu terjadi, tokenisme memiliki setidaknya dua
efek negatif. Pertama, membiarkan orang dengan prasangka terlepas dari
tuntutan, mereka menunjukan aksi tokenistik sebagai bukti umum bahwa mereka
bukanlah orang yang munafik. Kedua, dapat merusak self-esteem dan kepercayaan diri sasaran prasangka, termasuk
beberapa orang yang diseleksi sebagai token atau menerima bantuan minimal.
Jelas di sini, bahwa tokenisme adalah bentuk diskriminasi halus yang seharusnya
dicegah.
Sumber Prasangka (Prejudice)—dari kondisi sosial di mana
hal tersebut bersumber.
·
Konflik Langsung
Antarkelompok:
Kompetisi Sebagai Sumber Prasangka.
Menurut pandangan Teori Konflik Realistik (realistic
conflict theory), prasangka berakar dari kompetisi antar-kelompok
sosial, utnuk memperoleh komoditas berharga atau kesempatan. Pendeknya,
prasangka berkembang dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan, perumahan yang
layak, sekolah yang baik, dan hasil lain yang diinginkan. Teori tersebut lebih
jauh lagi menyatakan bahwa kompetisi-kompetisi seperti itu terus berlanjut,
anggota kelompok yang terlibat di dalamnya mulai memandang satu sama lain dalam
pandangan negatif yang terus meningkat. Mereka memberi label satu sama lain
sebagai “musuh”, memandang kelompok mereka sendiri superior secara moral, dan
menarik garis batas antara mereka dan lawan mereka lebih tegas. Hasilnya, apa
yang dimulai dengan kompetisi sederhana yang relatif bebas dari rasa benci
berkembang secara bertahapdalam skala penuh, prasangka dengan dasar emosi.
·
Pengalaman Awal: Peran Pembelajaran
Sosial.
Berdasarkan pandangan proses belajar sosial (social learning view), anak
memperoleh sikap negatif melalui berbagai kelompok sosial karena mereka
mendengar pandangan tersebut diekspresikan oleh orang tua, teman, guru, dan
orang lain, dan karena mereka secara langsung diberikan rewards (berupa cinta, pujian, dan persetujuan) untuk mengadopsi
pandangan-pandangan ini. Selain itu, dengan mengobservasi orang lain, norma
sosial (social norms)—yang berupa
peraturan sebuah kelomopok yang menyatakan tidakan atau sikap apa yang
pantas—juga penting.
·
Kategorisasi Sosial: Efek
Kita—versus—Mereka dan Kesalahan Atribusi “Utama”
Pada umumnya orang
membagi dunia sosial dalam dua kategori yang berbeda—“kita” dan “mereka”—yaitu
merujuk pada kategorisasi sosial (social categorization). Singkatnya,
mereka memandang orang lain sebagai bagian dari kelompok mereka sendiri
(biasanya disebut in-group) atau
kelompok lain (outgroup). Perbedaan tersebut didasarkan pada banyak dimensi,
beberapa di antaranya adalah ras, agama, jenis kelamin, usia, latar belakang
etnis, pekerjaan, dan pendapatan.
·
Sumber Kognitif
Prasangka:
Stereotip, Eksplisit, dan Implisit.
Berikutnya kita sampai
pada beberapa sumber potensial prasangka yang paling tidak menyenangkan. Hal
ini melibatkan kemungkinan bahwa setidaknya sebagian prasangka bersumber dari
aspek dasar kognisi sosial—yaitu kita berpikir mengenai oranglain, menyimpan
dan mengintegrasikan informasi tentang mereka, dan kemudian menggunakan
informasi tersebut untuk mengambil kesimpulan tentang mereka atau membuat
penilaian sosial.
a) STEREOTIP: Apa dan
bagaimana stereotip bekerja. Stereotip—yaitu kerangka berpikir kognitif yang
terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki
oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Dengan kata lain,
stereotip menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi anggota kelompok sosial
tertentu memiliki trait-trait
tertentu, setidaknya pada derajat tertentu. Stereotip memberikan efek kuat pada
bagaimana kita memproses informasi sosial. Informasi yang relevan dengan
stereotip yang diaktifkan serinng kali diproses dengan lebih cepat dan diingat
lebih baik, daripada informasi yang tidak berhubungan dengan hal tersebut.
b) STEREOTIP IMPLISIT:
Ketika keyakinan yang tidak kita sadari mempengaruhi tingkah laku kita.
Implisit—sikap tersebut ada, dan memopengaruhi banyak bentuk tingkah laku,
meskipun kita tidak menyadari keberadaan atau dampaknya terhadap tingkah laku.
Hal yang sama juga terjadi pada stereotip, kita sering kali memiliki stereotip
implisit yang tidak bisa kita identifikasi dengan mudah melalui instropeksi,
tetapi tetap mempengaruhi keyakinan kita tentang karakteristik yang dimiliki
oleh anggota dari kategori sosial tertentu. Dengan kata lain, stereotip rasial,
etnis, atau gender yang sebagian besar kita tidak sadari dapat diaktivasi oleh
berbagai stimuli. Dan setelah mereka diaktivasi, stereotip ini mempengaruhi
pemikiran, keputusan dan bahkan tingkah laku yang muncul pada orang tersebut.
·
Mekanisme Kognitif Lain
dalam Prasangka:
Hubungan Palsu dan Homogenitas Out-group.
Psikolog sosial merujuk kecenderungan
melebih-lebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang
relatif kecil sebagai hubungan ilusi (illusory correlation). Seperti apa
yang Anda lihat, hubungan ilusi memiliki implikasi penting terhadap prasangka.
Secara khusus, hubungan ini membantu menjelaskan mengapa tingkah laku sering
kali negatif dan kecenderungan oleh anggota kelompok mayoritas diatribusikan
pada naggota kelompok minoritas.
·
Perbedaan
IN-GROUP, HOMOGENITAS OUT-GROUP: “MEREKA SEMUA SAMA”. Orang
yang memiliki prasangka kuat terhadap kelompok sosial tentu sering kali membuat
pernyataan seperti ini: “Anda tahu kan mereka seperti apa; mereka semua sama”.
Implikasi komentar tersebut adalah anggota sebuah out-group lebih serupa satu sama lain(lebih homogen) daripada
anggota kelompoknya sendiri. Kecenderungan mempersepsikan orang yang menjadi
bagian dari kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa,
dikenal sebagai ilusi homogenitas out-group (illusion of out-group homogenity) (Linville,
Fischer, & Salovey, 1989).
Teknik-Teknik untuk
Mengatasi Dampak Prasangka.
Dengan menyesal dapat dikatakan bahwa prasangka nampaknya
merupakan aspek kehidupan yang ada di hampir, atau bahkan seluruh masyarakat.
Apakah hal ini berarti bahwa prasangka tidak dapat dicegah? Mari kita lihat
beberapa teknik yang menjanjikan untuk mengurangi prasangka.
·
Memutuskan Siklus
Prasangka:
Belajar Tidak Membenci—Menurut pandangan psikolog sosial, anak mempelajari prasangka
dari orang tuanya, orang dewasa lain, pengalaman masa kanak-kanak, dan media
massa. Atas dasar keyakinan ini, sebuah teknik yang dapat digunakan untuk
mengurangi prasangka adalah: Dengan cara apapun, kita harus mencegah orang tua
dan dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatik.
·
Kontak Antarkelompok
Secara Langsung:
Keuntungan Potensial dan Melakukan Kontak—Dapatkah prasangka dikurangi dengan
meningkatkan derajat kontak antara kelompok-kelompok yang berbeda? Ide bahwa
hal ini dapat dilakukan dikenal sebagai hipotesis
kontak (contact hypotesis), dan
ada beberapa alasan bagus untuk memprediksikan bahwa strategi ini dapat
dibuktikan keefektifannya (Pettigrew, 1981, 1997). Pertama, meningkatkan kontak
antara orang yang berasal dari kelompok yang berbeda dapat mengembangkan
pemahaman akan kesamaan diantara mereka. Kedua, walaupun stereotip suli untuk
diubah, namun dapat digeser bila terdapat sejumlah informasi yang tidak
konsisten terhadap stereotip yang diberikan tersebut. Ketiga, meningkatkan
kontak juga dapat membantu melawan ilusi homogenitas out-group yang telah dideskripsikan lebih dulu. Hal tersebut dapat
terjadi bila memenuhi kondisi-kondisi seperti berikut: Kelompok yang
berinteraksi kurang lebih harus setara status sosialnya, kontak antara mereka
harus melibatkan kerja sama dan saling ketergantungan, kontak harus
memungkinkan mereka mengenal satu sama lain secara individual, norma-norma
keadilan bagi kedua kelompok harus tercipta, dan orang yang ada di dalamnya
harus memamndang satu sama lain sebagai nagioan dari kelompoknya masing-masing.
Tetapi Hipotesis kontak yang diperluas (extended contact hypotesis)
menyatakan bahwa kontak langsung antara orang dari kelompok yang berbeda
bukanlah inti dari usaha mengurangi prasangka antara keduanya. Sebaliknya, efek
yang menguntungkan dapat diperoleh jika orang yang terkait tahu bahwa orang
dalam kelompok mereka sendiri telah menjalin persahabatan dengan orang yang
berasal dari kelompok lain.
·
Kategorisasi Ulang: Membuat Ulang Batas
antara “Kita” dan “Mereka”—Bagaimana perubahan ini—atau kategorisasi ulang (recategorization),
sebuah istilah dari psikolog sosial—digunakan untuk mengurangi prasangka?
Sebuah teori disampaikan oleh Gaertner dan Koleganya (1989, 1993a) menyatakan
hal tersebut dapat dilakukan. Menurut teori ini, yang dikenal sebagai model identitas in-group umum (common
in-group identity model), ketika individu yang termasuk dalam kelompok
sosial yang berbeda memandang dirinya sebagai anggota dari satu kesatuan sosial
(a single social entity); sikap
mereka terhadap satu sama lain menjadi lebih positif.
DAFTAR PUSTAKA
Baron,
Robert A. 2004. Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
No comments:
Post a Comment