Sunday, 26 June 2016

Psikologi Sosial : Prasangka, Diskriminasi dan Sumber Prasangka serta teknik mengatasi prasangka

A.      Prasangka (Prejudice)
Prasangka (prejudice) adalah sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan

prasangka
sumber : tabungwakaf.com

keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota kelompok tersebut. Trait dan tingkah laku individual mereka memainkan peran yang kecil, mereka tidak disukai (atau dalam beberapa kasus,disukai) hanya karena mereka termasuk dalam kelompok tertentu.
Ketika prasangka didefinisikan sebagai tipe khusus dari sikap, dua implikasi mengikutinya. Pertama, sikap sering kali berfungsi sebagai skema (schemas)—kerangka berpikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi, dan mengambil informasi (contoh Wyer&Srull 1994). Maka, individeu yang memiliki prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu cenderung memproses informasi tentang kelompok ini secara berbeda dari cara mereka memproses informasi tentang kelompok lain. Sebagai contoh,  informasi yang konsisten dengan pandangan individu yang berprasangka sering kali mendapatkan perhatian lebih banyak dan diingat lebih akurat daripada informasi yang tidak konsisten dengan pandangan-pandangan mereka (contoh, Fiske&Neuberg, 1990, Judd, Ryan&Parke, 1991).
Kedua, sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai (Bodenhausen, Kramer&Susser, 1994b; Vanman dkk., 1997). Dan seperti yang akan segera kita lihat, prasangka juga dapat dilakukan secara implisitprasangka dapat dipicu secara otomatis dengan mendatangkan anggota kelompok yang akan ditujukan prasangka, dan dapat mempengaruhi tingkah laku yang muncul bahkan ketika orang yang bersangkutan, pada umumnya, tidak menyadari eksistensi dari padangan tersebut dan mungkin berusaha menyangkalnya bahwa orang lain memiliki pandangan itu (contoh Fazio dkk., 1995; Fazio&Hilden, 2001).
Akhirnya, prasangka juga dapat melibatkan kecenderungan untuk bertingkah laku secara negatif terhadap orang yang menjadi objek prasangka. Ketika kecenderungan ini diwujudkan dalam tingkah laku, hasilnya adalah berbagai bentuk diskriminasi. Sebelum melanjutkan ke dalam diskusi tentang berbagai cara prasangka diekspresikan dalam tingkah laku yang tampak, kita harus memikirkan dua pertanyaan yang berhubungan: Mengapa, secara khusus, orang memiliki pandangan prasangka? Apa keuntungan yang mereka peroleh dengan memilikinya?
Manusia adalah “Cognitive Misers”—mereka dalam kebanyakan situasi menanamkan usaha kognitif sesedikit mungkin. Kemudian, mengapa begitu banyak orang yang membentuk dan memiliki prasangka? Penelitian menemukan dua kesimpulan.
Pertama, secara individu, mereka memilikin prasangka karena dengan melakukannya mereka meningkatkan citra diri mereka sendiri (contoh, Steele, Spencer&Lynch, 1993). Ketika individu memandang rendah sebuah kelompok yang dipandangnya negatif, hal ini membuat mereka yakin akan harga diri mereka sendiri—untuk merasa superior dengan berbagai cara.
Kedua, karena dengan melakukan hal tersebut kita dapat menghemat usaha kognitif. Stereotip, secara khusus, tampaknya melakukan fungsi ini. Ketika stereotip terbentuk, kita tidak perlu melakukanm proses berpikir yang hati-hati dan sistematis; lagipula, karena kita “tahu” seperti apakah anggota kelompok ini, kita dapat melakukan proses berpikir yang lebih cepat berdasarkan dorongan proses heuristik dan semua keyakinan yang telah dimiliki sebelumnya.


A.      Diskriminasi         
Sikap, tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak, tidak terkecuali dengan prasangka. Dalam berbagai kasus, orang yang memiliki sikap negatif terhadap anggota beberapa kelompok tidak dapat mengekspresikan pandangan mereka secara langsung. Hukum, tekanan sosial, dan ketakutan akan dikucilkan—semua berfungsi untuk mencegah orang menampilkan pandangan prasangkanya di depan umum. Diskriminasi (discrimination) adalah aksi negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama—telah menurun dalam tahun-tahun terakhir ini di Amerika Serikat dan banyak di negara lain. Sebaliknya, contoh-contoh kriminalitas berdasarkan kebencian (hate crimes)—kriminalitas  yang berdasar pada prasangka rasial, etnis, dan tipe prasangka lainnya—terus berlangsung dengan frekuensi yang menganggu. Sebagai contoh, pada tahun-tahun terakhir ini, James Byrd, seorang laki-laki Afrika Amerika , diseret dibelakang oleh sebuah truk yang dikemudikan oleh seorang laki-laki kulit putih dengan prasangka yang sangat tinggi, James Byrd meninggal akibat luka-lukanya. Serupa dengannya, Mathew Shepard, seorang mahasiswa, dibunuh hanya karena ia seorang homoseksual.Terakhir, contoh kejahatan yang paling dramatis dengan motivasi kebencian rasial, agama, atau etnis adalah serangan tragis oleh teroris pada World Trade Center dan Pentagon pada 11 September 2011. Orang yang melakukan kejahatan ini begitu dipenuhi dengan kebencian pada Amerika Serikat dan warganya sehingga membuat mereka dengan senang hati mengorbankan hidup mereka untuk membunuh ribuan korban yang tidak bersalah—orang yang belum pernah mereka temui dan tidak pernah melakukan kejahatan apapun kepada mereka secara langsung. Akan tetapi, syukurlah, peristiwa-peristiwa seperti itu relatif masih jarang, dan secara umum prasangka diekspresikan lewat tingkah laku yang lebih halus. Bagaimana bentuk diskriminasi yang halus atau samar? Penelitian oleh psikolog sosial menunjukan beberapa kesimpulan yang menarik:

·         RASISME MODERN: Lebih halus, tetapi sama mematikan. Pada suatu saat banyak orang merasakan tiadanya kekhawatiran untuk mengekspresikan secara terbuka keyakinan rasis mereka (Sears, 1998). Sekarang, tentu saja, hanya beberapa orang saja yang bisa menyatakan pandangan tersebut. Apakah hal ini menyatakan bahwa rasisme, sebuah bentuk khusus dari prasangka, juga telah hilang atau setidaknya menurun? Sementara hal ini mungkin terjadi, (contoh, Martin&Parker, 1995), banyak psikolog sosial yakin bahwa, nyatanya, apa yang telah terjadi adalah pergantian bentuk rasisme kuno (baca “keras”) dengan bentuk yang lebih halus, yang mereka sebut dengan istilah rasisme modern (modern racism). Bagaimana bentuk rasisme ini? Rasisme berusaha menutup-nutupi prasangka di tempat-tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap mengecam ketika hal itu aman dilakukan, sebagai contoh, mereka berbagi pandangan tersebut kepada teman dekat dan anggota keluarga yang dikenal.

·         TOKENISME: Keuntungan kecil, biaya tinggi. Ini adalah cara lain di mana diskriminasi terjadi di dunia modern. Bayangkan anda dikontrak untuk sebuah pekerjaan yang sangat anda inginkan dan dengan bayaran awal yang lebih tinggi daripada yang anda harapkan. Pertama kali, Anda merasa senang melihat keberuntungan Anda. Sekarang bayangkan Anda mengetahui bahwa Anda memperoleh pekerjaan tersebut hanya karena Anda adalah anggota dari kelompok tertentu—kelompok di mana anggotanya harus dipekerjakan oleh perusahaan untuk menghindari tuduhan diskriminasi. Bagaimana reaksi Anda? Dan bagaimana pegawai lain dalam perusahaan Anda, yang mengetahui bahwa Anda dikontrak untuk alasan tersebut, akan memandang Anda? Bukti yang berkembang menunjukan bahwa orang yang dipekerjakan sebagai sebuah token mewakili kelompok mereka dipersepsikan cukup negatif oleh pegawai lain dalam perusahaan. Sebagai contoh, Heilman, Block, dan Lucas (1992) menemukan bahwa pelamar pekerjaan yang diidentifikasi sebagai pegawai “yang harus disetujui” dipersepsikan kurang kompeten oleh orang yang meninjau lamaran mereka daripada pelamar yang tidak diidentifikasikan demikian. Dalam bentuk umum, biasanya, tokenisme melibatkan tampilan tingkah lakupositif yang palsu di depan sasaran prasangka dan kemudian menggunakan hal lain ini sebagai sebuah alasan atau justifikasi terhadap bentuk diskriminasi lain. Kapan pun hal itu terjadi, tokenisme memiliki setidaknya dua efek negatif. Pertama, membiarkan orang dengan prasangka terlepas dari tuntutan, mereka menunjukan aksi tokenistik sebagai bukti umum bahwa mereka bukanlah orang yang munafik. Kedua, dapat merusak self-esteem dan kepercayaan diri sasaran prasangka, termasuk beberapa orang yang diseleksi sebagai token atau menerima bantuan minimal. Jelas di sini, bahwa tokenisme adalah bentuk diskriminasi halus yang seharusnya dicegah.


     Sumber Prasangka (Prejudice)—dari kondisi sosial di mana hal tersebut bersumber.
·         Konflik Langsung Antarkelompok: Kompetisi  Sebagai Sumber Prasangka.
                Menurut pandangan Teori Konflik Realistik (realistic conflict theory), prasangka berakar dari kompetisi antar-kelompok sosial, utnuk memperoleh komoditas berharga atau kesempatan. Pendeknya, prasangka berkembang dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan, perumahan yang layak, sekolah yang baik, dan hasil lain yang diinginkan. Teori tersebut lebih jauh lagi menyatakan bahwa kompetisi-kompetisi seperti itu terus berlanjut, anggota kelompok yang terlibat di dalamnya mulai memandang satu sama lain dalam pandangan negatif yang terus meningkat. Mereka memberi label satu sama lain sebagai “musuh”, memandang kelompok mereka sendiri superior secara moral, dan menarik garis batas antara mereka dan lawan mereka lebih tegas. Hasilnya, apa yang dimulai dengan kompetisi sederhana yang relatif bebas dari rasa benci berkembang secara bertahapdalam skala penuh, prasangka dengan dasar emosi.
·         Pengalaman Awal: Peran Pembelajaran Sosial.
                Berdasarkan pandangan proses belajar sosial (social learning view), anak memperoleh sikap negatif melalui berbagai kelompok sosial karena mereka mendengar pandangan tersebut diekspresikan oleh orang tua, teman, guru, dan orang lain, dan karena mereka secara langsung diberikan rewards (berupa cinta, pujian, dan persetujuan) untuk mengadopsi pandangan-pandangan ini. Selain itu, dengan mengobservasi orang lain, norma sosial (social norms)—yang berupa peraturan sebuah kelomopok yang menyatakan tidakan atau sikap apa yang pantas—juga penting.
·         Kategorisasi Sosial: Efek Kita—versus—Mereka dan Kesalahan Atribusi “Utama”
                Pada umumnya orang membagi dunia sosial dalam dua kategori yang berbeda—“kita” dan “mereka”—yaitu merujuk pada kategorisasi sosial (social categorization). Singkatnya, mereka memandang orang lain sebagai bagian dari kelompok mereka sendiri (biasanya disebut in-group) atau kelompok lain (outgroup). Perbedaan tersebut didasarkan pada banyak dimensi, beberapa di antaranya adalah ras, agama, jenis kelamin, usia, latar belakang etnis, pekerjaan, dan pendapatan.
·         Sumber Kognitif Prasangka: Stereotip, Eksplisit, dan Implisit.
                Berikutnya kita sampai pada beberapa sumber potensial prasangka yang paling tidak menyenangkan. Hal ini melibatkan kemungkinan bahwa setidaknya sebagian prasangka bersumber dari aspek dasar kognisi sosial—yaitu kita berpikir mengenai oranglain, menyimpan dan mengintegrasikan informasi tentang mereka, dan kemudian menggunakan informasi tersebut untuk mengambil kesimpulan tentang mereka atau membuat penilaian sosial.

a)      STEREOTIP: Apa dan bagaimana stereotip bekerja. Stereotip—yaitu kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Dengan kata lain, stereotip menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi anggota kelompok sosial tertentu memiliki trait-trait tertentu, setidaknya pada derajat tertentu. Stereotip memberikan efek kuat pada bagaimana kita memproses informasi sosial. Informasi yang relevan dengan stereotip yang diaktifkan serinng kali diproses dengan lebih cepat dan diingat lebih baik, daripada informasi yang tidak berhubungan dengan hal tersebut.

b)      STEREOTIP IMPLISIT: Ketika keyakinan yang tidak kita sadari mempengaruhi tingkah laku kita. Implisit—sikap tersebut ada, dan memopengaruhi banyak bentuk tingkah laku, meskipun kita tidak menyadari keberadaan atau dampaknya terhadap tingkah laku. Hal yang sama juga terjadi pada stereotip, kita sering kali memiliki stereotip implisit yang tidak bisa kita identifikasi dengan mudah melalui instropeksi, tetapi tetap mempengaruhi keyakinan kita tentang karakteristik yang dimiliki oleh anggota dari kategori sosial tertentu. Dengan kata lain, stereotip rasial, etnis, atau gender yang sebagian besar kita tidak sadari dapat diaktivasi oleh berbagai stimuli. Dan setelah mereka diaktivasi, stereotip ini mempengaruhi pemikiran, keputusan dan bahkan tingkah laku yang muncul pada orang tersebut.
·         Mekanisme Kognitif Lain dalam Prasangka: Hubungan Palsu dan Homogenitas Out-group. Psikolog sosial merujuk kecenderungan  melebih-lebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil sebagai hubungan ilusi (illusory correlation). Seperti apa yang Anda lihat, hubungan ilusi memiliki implikasi penting terhadap prasangka. Secara khusus, hubungan ini membantu menjelaskan mengapa tingkah laku sering kali negatif dan kecenderungan oleh anggota kelompok mayoritas diatribusikan pada naggota kelompok minoritas.
·         Perbedaan IN-GROUP, HOMOGENITAS OUT-GROUP: “MEREKA SEMUA SAMA”. Orang yang memiliki prasangka kuat terhadap kelompok sosial tentu sering kali membuat pernyataan seperti ini: “Anda tahu kan mereka seperti apa; mereka semua sama”. Implikasi komentar tersebut adalah anggota sebuah out-group lebih serupa satu sama lain(lebih homogen) daripada anggota kelompoknya sendiri. Kecenderungan mempersepsikan orang yang menjadi bagian dari kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa, dikenal sebagai  ilusi homogenitas out-group (illusion of out-group homogenity) (Linville, Fischer, & Salovey, 1989).
                 
 Teknik-Teknik untuk Mengatasi Dampak Prasangka.

Dengan menyesal dapat dikatakan bahwa prasangka nampaknya merupakan aspek kehidupan yang ada di hampir, atau bahkan seluruh masyarakat. Apakah hal ini berarti bahwa prasangka tidak dapat dicegah? Mari kita lihat beberapa teknik yang menjanjikan untuk mengurangi prasangka.

·         Memutuskan Siklus Prasangka: Belajar Tidak Membenci—Menurut pandangan psikolog sosial, anak mempelajari prasangka dari orang tuanya, orang dewasa lain, pengalaman masa kanak-kanak, dan media massa. Atas dasar keyakinan ini, sebuah teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi prasangka adalah: Dengan cara apapun, kita harus mencegah orang tua dan dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatik.

·         Kontak Antarkelompok Secara Langsung: Keuntungan Potensial dan Melakukan Kontak—Dapatkah prasangka dikurangi dengan meningkatkan derajat kontak antara kelompok-kelompok yang berbeda? Ide bahwa hal ini dapat dilakukan dikenal sebagai hipotesis kontak (contact hypotesis), dan ada beberapa alasan bagus untuk memprediksikan bahwa strategi ini dapat dibuktikan keefektifannya (Pettigrew, 1981, 1997). Pertama, meningkatkan kontak antara orang yang berasal dari kelompok yang berbeda dapat mengembangkan pemahaman akan kesamaan diantara mereka. Kedua, walaupun stereotip suli untuk diubah, namun dapat digeser bila terdapat sejumlah informasi yang tidak konsisten terhadap stereotip yang diberikan tersebut. Ketiga, meningkatkan kontak juga dapat membantu melawan ilusi homogenitas out-group yang telah dideskripsikan lebih dulu. Hal tersebut dapat terjadi bila memenuhi kondisi-kondisi seperti berikut: Kelompok yang berinteraksi kurang lebih harus setara status sosialnya, kontak antara mereka harus melibatkan kerja sama dan saling ketergantungan, kontak harus memungkinkan mereka mengenal satu sama lain secara individual, norma-norma keadilan bagi kedua kelompok harus tercipta, dan orang yang ada di dalamnya harus memamndang satu sama lain sebagai nagioan dari kelompoknya masing-masing. Tetapi Hipotesis kontak yang diperluas (extended contact hypotesis) menyatakan bahwa kontak langsung antara orang dari kelompok yang berbeda bukanlah inti dari usaha mengurangi prasangka antara keduanya. Sebaliknya, efek yang menguntungkan dapat diperoleh jika orang yang terkait tahu bahwa orang dalam kelompok mereka sendiri telah menjalin persahabatan dengan orang yang berasal dari kelompok lain.
·         Kategorisasi Ulang: Membuat Ulang Batas antara “Kita” dan “Mereka”—Bagaimana perubahan ini—atau kategorisasi ulang (recategorization), sebuah istilah dari psikolog sosial—digunakan untuk mengurangi prasangka? Sebuah teori disampaikan oleh Gaertner dan Koleganya (1989, 1993a) menyatakan hal tersebut dapat dilakukan. Menurut teori ini, yang dikenal sebagai  model identitas in-group umum (common in-group identity model), ketika individu yang termasuk dalam kelompok sosial yang berbeda memandang dirinya sebagai anggota dari satu kesatuan sosial (a single social entity); sikap mereka terhadap satu sama lain menjadi lebih positif.


DAFTAR PUSTAKA
 Baron, Robert A. 2004. Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Jakarta: Penerbit Erlangga.

No comments:

Post a Comment