Tuesday, 28 June 2016

Psikologi Sosial : Altruisme dan Perilaku Prososial (4)

I.             Volunterisme: Membuat Komitmen Untuk Membantu

Setiap selasa, Emily pergi ke rumah sakit daerah untuk membantu perawatan di unit perawatan bayi yang menderita gejala sakit akibat ibunya terlalu banyak minum alcohol semasa kehamilan. Anthony mengahabiskan

altruisme

liburan musim panasnya dengan kelompok gereja untuk merenovasi rumah brobok di komunitasnya. Alicia, yang mendapat pendidikan sebagai relawan dikebun bintang, seminggu sekali menjadi pemandu anak-anak berkeliling kebun binatang. Jelas mereka ini sama-sama menjadi relawan untuk kegiatan yang bermanfaat atau kegiatan amal. Ada ribuan kelompok amal dewasa ini, mulai dari membantu membersihkan pantai dari tumpahan minyak, memberi makanan dan tempat berteduh bagi tunawisma dan gelandangan,mengajar bahasa inggris untuk imigran baru, membantu museum, dan sebgainya (Snyder, Clary, &Stukas, 2000).
Berbeda dengan tindakan spontan membantu orang asing seperti didiskusikan di atas, aktifitas sukarelawan adalah kegiatan yang direncanakan, dipertahankan dan membutuhkan lebih banyak waktu (synder & otomo, 2001). Organisasi relawan bukan barang baru. Salah satu orgnisasi sukarelewan pertama di Amerika adalah Bureau des Pauvres (Office for the poor) yang didirikan pada 1688 setelah kebakaran besar yang  menghancurkan rumah dan pemukiman di New France (sekarang Kanada). Kota Quebec merespons dengan membentuk organisasi yang menyediakan makanan, pakaian, perumahan, dan uang para korban. Organisasi ini dijalankan oleh para relawan dan dibiayai dari sumbangan masyarakat, dan terus memberi bantuan kepada orang miskin, jompo dan cacat sampai 1700 (pancer & pratt, 1999).

Beragam Motif Relawan
Apa yang memotivasi relawan itu? Tak ada jawaban tunggal. Riset mengidentifikasi paling tidak enam fungdi volunterisme bagi individu (Clary et al, 1998; Snyder, Clary, & Stukas, 2000). Banyak relawan menekankan pada nilai personal seperti kasih saying pada orang lain, keinginan untuk menolong orang yang kurang beruntung, perhatian khusus pada kelompok atau komunitas. Ketik ditanya mengapa mereka menjadi relawan untuk penderita AIDS, mereka memberi alas an “ kewajiban kemanusiaan untuk membantu orang lain” dan “untuk membantu komunitas gay” (Synder&omoto, 1992). Fungsi kedua dari tindakan sukarela adalah untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam-untuk mempelajari suatu kejadian social, dan belajar bekerja sama dengan berbagai macam orang. Beberapa relawan AIDS menunjukkan keinginan untuk belajar cara orang menghadapi penyakit AIDS. Motif ketiga bisa berupa motif social, merefleksikan keinginan untuk berteman, melakukan aktivitas yang memiliki nilai signifikan, atau mendapatkan penerimaan sosial. Motif keempat adalah pengembangan karier. Kegiatan sukarela dapat membantu individu mengeksplorasi opsi karier, membangun kontak potensial, dan menambah daftar aktivitas yang bernilai social di resume mereka. Kegiatan sukarela juga mengandung fungsi poteksi firi. Aktivitas ini mungkin membantu seseorang lepas dari kesulitan, merasa tidak kesepian, atau mereduksi perasaan bersalah. Fungsi terakhir untuk pengayaan diri. Kegiatan sukarela mungkin membantu orang merasa dibutuhkan atau menjadi orang yang penting, memperkuat harga diri, atau bahkan mengembangkan kepribadian. Relawan AIDS menegaskan bahwa mereka bisa “mendapatkan pengalaman mengahadapi hal-hal yang menyulitkan perasaan” dan “merasa diri menjadi lebih baik” (Snyder & Omoto, 1992). Agama juga bisa menjadi factor penting. Orang yang beriman kuat, yang menganggap agama itu penting bagi kehidupannya atau menjadi anggota organisasi religious, lebih mungkin menjalankan aktivitas amal sukarela untuk membantu orang yang membutuhkan dan lebih sering menyumbang untuk kegiatann amal (Hansen, Vandenberg,&Patterson, 1995; Putnam,2000).
Seiring dengan berjalannya waktu, motif mereka untuk menjadi relawan mungkin berubah (Omoto, Synder, & Martino, 2000). Di kalangan remaja dan orang dewasa,alas an social menjadi alas an penting. Di kalangan orang dewasa yang lebih tua, nilai pelayanan masyarakat menjadi lebih penting, bersama dengan keinginan untuktetap produktif dan merasa dibutuhkan.
Beragam motif ini membantu penjelasan mengapa beberapa orang terus menjadi relawan selama jangka waktu yang panjang dan sebagian lainnya tidak. Riset menemukan bahwa sebagian besar relawan kemungkinan besar terus melakukan kegiatan amalnya apabila manfaat yang mereka peroleh dari kegiatannya itu sesuai dengan motifnya (Clary eet al, 1998). Misalnya anak SMA yang ingin menjadi dokter mungkin akan teteap menjadi relawan rumah sakit guna menambah pengalaman. Komitmennya pada aktivitas ini akan lebih besar jika dia merasa waktunya bermanfaat, bila dia bisa belajar interaksi dengan pasien dan bertemu dengan para staf medis yang mendorong tujuan kariernya. Sebaliknya, seseorang yang pindah ke kota lain dan menjadi relawan di rumah sakit demi mendapatkan teman baru mungkin akan mundur dari kegiatannya jika harapannya itu tak terpenuhi.
Sebuah studi longitudinal terhadap relwan AIDS mempelajari faktor-faktor yng berkaitan dengan komitmen yang berkelanjutan (Omoto&Snyder, 1995). Alas an awal orang menjadi relawan akan mempengaruhi berapa lama mereka akan tetap dalam kegiatannya itu. Orang yang memiliki alasan untuk kepeningan diri, seperti untuk memperkaya pengalaman diri atau menambah pemahaman, kemungkinan akan bertahan selama2 tahun atau lebih. Periset percaya bahwa keinginan “demi diri” dan demi mempelajari sesuatu tentang AIDS mungkin bisa membantu mempertahankan komitmen mereka. Sebaliknya, motif yang tidak berorientasi pada diri sendiri mungkin tidak akan membuat mereka terus bertahan jika biaya personal menjadi jelas. Individu yang menjadi relawan untuk membantu orang yang kena penyakit seperti AIDS mungkin akan menanggung biaya khusus. Selain biaya waktu, mereka yang menjadi pernah relawan AIDS mungkin mengatakan bahwa mereka merasa malu bekerja dengan bidang yang berurusan dengan AIDS. Pengalaman stigmatisasi membuat beberapa relawan AIDS mengalami keletihan dan kejemukan dan mempercepat keputusan mereka untuk mundur (Omoto&Snyder,2002).
Ringkasanya, alasan untuk menjadi relawan adalah kompleks dan sering mengombinasikan altruism dan kepentingan diri. Keinginan menolong orang lain dan mengekspresikan nilai yang dianut adalah alasan-alasan penting di balik kesediaan menjadi relawan. Kesempatan untuk mendapat keterampilan baru, bertemu orang baru, dan menambah pengalaman juga bisa jadi alasan utama.


II.                Mencari dan Menerima Pertolongan
Kita telah fokus pada tindakan membantu orang lain. Perlu juga dipahami mengapa orang terkadang enggan mencari pertolongan yang mereka butuhkan dan mengapa reaksi terhadap pertolongan terkadang negatif. Terkadang kita tak sungkan mencari pertolongan. Orang yang baru belajar berenang mungkin akan berteriak minta tolong saat tenggelam. Disaat yang lain, kita kadang menolak minta di bantu. Meski hamper bangkrut, seorang lelakitak mau minta bantuan kepada orang tuanya. Untuk memahami ini, kita bukan hanya harus mempertimbangkan manfaat meminta bantuan, tetapi juga halangan psikologis yang menghambat keinginan untuk meminta tolong (Vogel&Wester, 2003). Reaksi terhadap penerimaan bantuan juga beragam. Seorang tentara mungkin suka mendapat bantuan dari teman sepasukannya. Sebaliknya, ketika bibi janne memberi bantuan kepada keponakannya yang berusia 5 tahun untuk berpakaian, si anak itu mungkin menolak dan lebih suka mengenakan pakaiannya sendiri. Seorang pengangguran mungkin ragu untuk mencari bantuan langsung tunai dan, setelah menerimanya, mungkin justru bereaksi negatif terhadap aparat kelurahan. Perasaan kita terhadap pencarian dan penerimaan bantuan bisa sangat bervariasi. Beberapa teori psikologis social berusaha menjelaskan reaksi-reaksi ini.

A.    Teori Atribusi: Ancaman terhadap harga diri
Menurut teori atribusi, orang termotivasi untuk memahami mengapa mereka perlu bantuan dan mengapa orang lain menawarkan bantuan kepadanya. Jika orang dapat mengatribusikan kebutuhannya ke kekuatan eksternal atau tak dapat dikontrol, bukan ke ketidakmampuan personal, maka mereka akan bisa tetap mempertahankan haraga diri positif. Beberapa studi menemukan bahwa orang lebih mungkin mencari pertolongan apabila mereka yakin bahwa problemnya disebabkan oleh situasi yang sulit ketimbang jika mereka menganggap penyebabnya adalah ketidakmampuan diri personal (Fisher, Nadler, & Whitcher-Alagna,1982).
Atribusi terhadap motif-motif dari orang yang memberikan bantuan juga penting (Ames, Flyn, & Weber, 2004).  Jika kita menganggap bahwa orang membantu kita karena mereka tulus dan memerhatikan kita, maka kita mungkin menerimanya. Sebaliknya, jika penerimaan bantuan mengimplikasikan bahwa kita tidak kompeten, tidak sukses atau tergantung, maka harga diri kita bisa terancam (Fisher et al,1982). Kemungkinan ini ditunjukkan oleh Graham dan Baker (1990) dalam studi atribusi untuk bantuan di kelas. Anak usia 5 sampai 12 tahun diperlihatkan rekaman video interaksi kelas antara guru SD dengan sekelompok siswa yang bekerja sama memecahkan matematika. Dalam film itu, guru berkeliling kelas. Dia berhenti dan melihat kertas pekerjaan seorang anak dan kemudian berjalan lagi tanpa berkomentar. Kemudian dia melihat pekerjaan anak lainnya dan menunduk sambil memberi nasihat, “kuberi petunjuk ya. Jangan lupa kalikan sepuluh”. Kemudian, subyek menilai kemampuan dua anak lelaki itu. Anak di semua usia menganggap siswa yang diberi bantuan adalah anak yang lemah kemampuannya ketimbang anak yang tidak diberi petunjuk. Tampaknya, niat baik guru untuk membantu mungkin dianggap si penirima dan pengamat sebagai tanda ketidakmampuan si penerima bantuan. Ancaman terhadap harga diri mungkin menyebabkan orang enggan menerima bantuan, meski ia sangat membutuhkannya.

B.     Norma Resiprositas dan Biaya utang budi
Memberi bantuan berarti pula bertukar sumber daya. Seperti yang telah kita lihat, ada norma reriprositas kultural, yang menyatakan bahwa kita harus membantu orang yang pernah membantu kita. Akibatnya, bukan sering diapresiasi jika dapat dibalas sehingga ada keseimbangan dalam hubungan. Orang kemungkinan meminta bantuan jika mereka menganggap dirinya bisa membalas budi kelak (Fisher et al, 1982). Orang lebih mungkin mengapresiasi penolong jika mereka bisa memberi balas budi atas bantuan yang mereka terima. Dalam hubungan personal dengan kawan dan kerabat, seling mambantu adalah soal lumrah. Sesame teman saling memberi nasihat, bertukar hadiah, dan saling membantu. Karena kita tahu bahwa kita pernah membantu teman dan punya kesempatan untuk membalas budi, maka kita nanati tidak akan enggan untuk minta bantuan lagi (Wills, 1992).
Sebaliknya, ketika pertukaran bantuan dalam suatu hubungan adalah satu arah, maka ini menimbulkan utang budi yang dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan (Nadler,1991). Misalnya, orang dewasa yang mendapat bantuan uang dari orang tuanya mungkin mengapresiasi bantuan itu tetapi mungkin merasa bahwa orang tuanya lebih kuat pengaruhnya terhadap dirinya karena dirinya pernah dibantu. Ringkasnya, bantuan satu arah dapat mengancam keseimbangan hubungan dan kekuasaan.

C.    Teori Reaktansi: kehilangan kebebasan

Reactance theory (teori reaktensi) juga memberikan penjelasan dalam soal bantuan membantu ini. Menurut teori ini (Brehm, 1966), orang ingin memaksimalkan kebebasan personalnya dalam memilih. Jika kita menganggap kebebasan kita terancam, kita sering bereaksi negative, misalnya memusuhi. Keadaan psikologis yang tidak tidak nyaman ini dinamakan “reaktansi”. Ancaman kehilangan kebebasan mungkin menyebabkan kita menegaskan kembali kemandirian kita. Misalnya, ketika penerima bantuan asing mengkritik kebijakan AS, mereka mungkin secara simbolis membuktikan independensinya dan karenanta mereduksi perasaan reaktansi psikologis. Demikian pula, ketika anak menolak bantuan orang tuanya, mereka mungkin bereaksi terhadap ancaman otonomi personalnya. Riset terhadap orang dewasa yang menerima bantuan dari anggota keluarga setiap hari seperti mengenakan pakaian, menyiapkan makanan (Newsom,1999) sering memberi reaksi negative terhadap bantuan itu. Dalam sebuah studi, orang dewasa itu sering menerima bantuan akan merasa lelah, tergantung, dan tidak mampu (Newsom, Adams, Rahim, Mowry, & Rogers,1998). Mereka terkadang berutang budi dan ingin membalas jasa. Mereka juga cemas akan kehilangan harga dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Baron, Robert. A., Donn Byrne. (2005). Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Taylor, Shelley. E., Letitia Anne Peplau, David O. Sears. (2012). Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

No comments:

Post a Comment