I.
Volunterisme:
Membuat Komitmen Untuk Membantu
Setiap
selasa, Emily pergi ke rumah sakit daerah untuk membantu perawatan di unit
perawatan bayi yang menderita gejala sakit akibat ibunya terlalu banyak minum
alcohol semasa kehamilan. Anthony mengahabiskan
liburan musim panasnya dengan kelompok gereja untuk merenovasi rumah brobok di komunitasnya. Alicia, yang mendapat pendidikan sebagai relawan dikebun bintang, seminggu sekali menjadi pemandu anak-anak berkeliling kebun binatang. Jelas mereka ini sama-sama menjadi relawan untuk kegiatan yang bermanfaat atau kegiatan amal. Ada ribuan kelompok amal dewasa ini, mulai dari membantu membersihkan pantai dari tumpahan minyak, memberi makanan dan tempat berteduh bagi tunawisma dan gelandangan,mengajar bahasa inggris untuk imigran baru, membantu museum, dan sebgainya (Snyder, Clary, &Stukas, 2000).
sumber : personalityzihan.wordpress.com
liburan musim panasnya dengan kelompok gereja untuk merenovasi rumah brobok di komunitasnya. Alicia, yang mendapat pendidikan sebagai relawan dikebun bintang, seminggu sekali menjadi pemandu anak-anak berkeliling kebun binatang. Jelas mereka ini sama-sama menjadi relawan untuk kegiatan yang bermanfaat atau kegiatan amal. Ada ribuan kelompok amal dewasa ini, mulai dari membantu membersihkan pantai dari tumpahan minyak, memberi makanan dan tempat berteduh bagi tunawisma dan gelandangan,mengajar bahasa inggris untuk imigran baru, membantu museum, dan sebgainya (Snyder, Clary, &Stukas, 2000).
Berbeda
dengan tindakan spontan membantu orang asing seperti didiskusikan di atas, aktifitas
sukarelawan adalah kegiatan yang direncanakan, dipertahankan dan membutuhkan
lebih banyak waktu (synder & otomo, 2001). Organisasi relawan bukan barang
baru. Salah satu orgnisasi sukarelewan pertama di Amerika adalah Bureau des
Pauvres (Office for the poor) yang didirikan pada 1688 setelah kebakaran besar
yang menghancurkan rumah dan pemukiman
di New France (sekarang Kanada). Kota Quebec merespons dengan membentuk
organisasi yang menyediakan makanan, pakaian, perumahan, dan uang para korban.
Organisasi ini dijalankan oleh para relawan dan dibiayai dari sumbangan
masyarakat, dan terus memberi bantuan kepada orang miskin, jompo dan cacat
sampai 1700 (pancer & pratt, 1999).
Beragam
Motif Relawan
Apa
yang memotivasi relawan itu? Tak ada jawaban tunggal. Riset mengidentifikasi
paling tidak enam fungdi volunterisme bagi individu (Clary et al, 1998; Snyder,
Clary, & Stukas, 2000). Banyak relawan menekankan pada nilai personal
seperti kasih saying pada orang lain, keinginan untuk menolong orang yang kurang
beruntung, perhatian khusus pada kelompok atau komunitas. Ketik ditanya mengapa
mereka menjadi relawan untuk penderita AIDS, mereka memberi alas an “ kewajiban
kemanusiaan untuk membantu orang lain” dan “untuk membantu komunitas gay”
(Synder&omoto, 1992). Fungsi kedua dari tindakan sukarela adalah untuk
mendapat pemahaman yang lebih mendalam-untuk mempelajari suatu kejadian social,
dan belajar bekerja sama dengan berbagai macam orang. Beberapa relawan AIDS
menunjukkan keinginan untuk belajar cara orang menghadapi penyakit AIDS. Motif
ketiga bisa berupa motif social, merefleksikan keinginan untuk berteman,
melakukan aktivitas yang memiliki nilai signifikan, atau mendapatkan penerimaan
sosial. Motif keempat adalah pengembangan karier. Kegiatan sukarela dapat membantu
individu mengeksplorasi opsi karier, membangun kontak potensial, dan menambah
daftar aktivitas yang bernilai social di resume mereka. Kegiatan sukarela juga
mengandung fungsi poteksi firi. Aktivitas ini mungkin membantu seseorang lepas
dari kesulitan, merasa tidak kesepian, atau mereduksi perasaan bersalah. Fungsi
terakhir untuk pengayaan diri. Kegiatan sukarela mungkin membantu orang merasa
dibutuhkan atau menjadi orang yang penting, memperkuat harga diri, atau bahkan
mengembangkan kepribadian. Relawan AIDS menegaskan bahwa mereka bisa
“mendapatkan pengalaman mengahadapi hal-hal yang menyulitkan perasaan” dan
“merasa diri menjadi lebih baik” (Snyder & Omoto, 1992). Agama juga bisa
menjadi factor penting. Orang yang beriman kuat, yang menganggap agama itu
penting bagi kehidupannya atau menjadi anggota organisasi religious, lebih
mungkin menjalankan aktivitas amal sukarela untuk membantu orang yang
membutuhkan dan lebih sering menyumbang untuk kegiatann amal (Hansen,
Vandenberg,&Patterson, 1995; Putnam,2000).
Seiring
dengan berjalannya waktu, motif mereka untuk menjadi relawan mungkin berubah
(Omoto, Synder, & Martino, 2000). Di kalangan remaja dan orang dewasa,alas
an social menjadi alas an penting. Di kalangan orang dewasa yang lebih tua,
nilai pelayanan masyarakat menjadi lebih penting, bersama dengan keinginan
untuktetap produktif dan merasa dibutuhkan.
Beragam
motif ini membantu penjelasan mengapa beberapa orang terus menjadi relawan
selama jangka waktu yang panjang dan sebagian lainnya tidak. Riset menemukan
bahwa sebagian besar relawan kemungkinan besar terus melakukan kegiatan amalnya
apabila manfaat yang mereka peroleh dari kegiatannya itu sesuai dengan motifnya
(Clary eet al, 1998). Misalnya anak SMA yang ingin menjadi dokter mungkin akan
teteap menjadi relawan rumah sakit guna menambah pengalaman. Komitmennya pada
aktivitas ini akan lebih besar jika dia merasa waktunya bermanfaat, bila dia
bisa belajar interaksi dengan pasien dan bertemu dengan para staf medis yang
mendorong tujuan kariernya. Sebaliknya, seseorang yang pindah ke kota lain dan
menjadi relawan di rumah sakit demi mendapatkan teman baru mungkin akan mundur
dari kegiatannya jika harapannya itu tak terpenuhi.
Sebuah
studi longitudinal terhadap relwan AIDS mempelajari faktor-faktor yng berkaitan
dengan komitmen yang berkelanjutan (Omoto&Snyder, 1995). Alas an awal orang
menjadi relawan akan mempengaruhi berapa lama mereka akan tetap dalam
kegiatannya itu. Orang yang memiliki alasan untuk kepeningan diri, seperti
untuk memperkaya pengalaman diri atau menambah pemahaman, kemungkinan akan
bertahan selama2 tahun atau lebih. Periset percaya bahwa keinginan “demi diri”
dan demi mempelajari sesuatu tentang AIDS mungkin bisa membantu mempertahankan
komitmen mereka. Sebaliknya, motif yang tidak berorientasi pada diri sendiri
mungkin tidak akan membuat mereka terus bertahan jika biaya personal menjadi
jelas. Individu yang menjadi relawan untuk membantu orang yang kena penyakit
seperti AIDS mungkin akan menanggung biaya khusus. Selain biaya waktu, mereka
yang menjadi pernah relawan AIDS mungkin mengatakan bahwa mereka merasa malu
bekerja dengan bidang yang berurusan dengan AIDS. Pengalaman stigmatisasi
membuat beberapa relawan AIDS mengalami keletihan dan kejemukan dan mempercepat
keputusan mereka untuk mundur (Omoto&Snyder,2002).
Ringkasanya,
alasan untuk menjadi relawan adalah kompleks dan sering mengombinasikan
altruism dan kepentingan diri. Keinginan menolong orang lain dan
mengekspresikan nilai yang dianut adalah alasan-alasan penting di balik
kesediaan menjadi relawan. Kesempatan untuk mendapat keterampilan baru, bertemu
orang baru, dan menambah pengalaman juga bisa jadi alasan utama.
II.
Mencari
dan Menerima Pertolongan
Kita
telah fokus pada tindakan membantu orang lain. Perlu juga dipahami mengapa
orang terkadang enggan mencari pertolongan yang mereka butuhkan dan mengapa
reaksi terhadap pertolongan terkadang negatif. Terkadang kita tak sungkan
mencari pertolongan. Orang yang baru belajar berenang mungkin akan berteriak
minta tolong saat tenggelam. Disaat yang lain, kita kadang menolak minta di
bantu. Meski hamper bangkrut, seorang lelakitak mau minta bantuan kepada orang
tuanya. Untuk memahami ini, kita bukan hanya harus mempertimbangkan manfaat meminta
bantuan, tetapi juga halangan psikologis yang menghambat keinginan untuk
meminta tolong (Vogel&Wester, 2003). Reaksi terhadap penerimaan bantuan
juga beragam. Seorang tentara mungkin suka mendapat bantuan dari teman
sepasukannya. Sebaliknya, ketika bibi janne memberi bantuan kepada keponakannya
yang berusia 5 tahun untuk berpakaian, si anak itu mungkin menolak dan lebih
suka mengenakan pakaiannya sendiri. Seorang pengangguran mungkin ragu untuk
mencari bantuan langsung tunai dan, setelah menerimanya, mungkin justru
bereaksi negatif terhadap aparat kelurahan. Perasaan kita terhadap pencarian
dan penerimaan bantuan bisa sangat bervariasi. Beberapa teori psikologis social
berusaha menjelaskan reaksi-reaksi ini.
A.
Teori
Atribusi: Ancaman terhadap harga diri
Menurut
teori atribusi, orang termotivasi untuk memahami mengapa mereka perlu bantuan
dan mengapa orang lain menawarkan bantuan kepadanya. Jika orang dapat
mengatribusikan kebutuhannya ke kekuatan eksternal atau tak dapat dikontrol,
bukan ke ketidakmampuan personal, maka mereka akan bisa tetap mempertahankan
haraga diri positif. Beberapa studi menemukan bahwa orang lebih mungkin mencari
pertolongan apabila mereka yakin bahwa problemnya disebabkan oleh situasi yang
sulit ketimbang jika mereka menganggap penyebabnya adalah ketidakmampuan diri
personal (Fisher, Nadler, & Whitcher-Alagna,1982).
Atribusi
terhadap motif-motif dari orang yang memberikan bantuan juga penting (Ames,
Flyn, & Weber, 2004). Jika kita
menganggap bahwa orang membantu kita karena mereka tulus dan memerhatikan kita,
maka kita mungkin menerimanya. Sebaliknya, jika penerimaan bantuan
mengimplikasikan bahwa kita tidak kompeten, tidak sukses atau tergantung, maka
harga diri kita bisa terancam (Fisher et al,1982). Kemungkinan ini ditunjukkan oleh
Graham dan Baker (1990) dalam studi atribusi untuk bantuan di kelas. Anak usia
5 sampai 12 tahun diperlihatkan rekaman video interaksi kelas antara guru SD
dengan sekelompok siswa yang bekerja sama memecahkan matematika. Dalam film
itu, guru berkeliling kelas. Dia berhenti dan melihat kertas pekerjaan seorang
anak dan kemudian berjalan lagi tanpa berkomentar. Kemudian dia melihat
pekerjaan anak lainnya dan menunduk sambil memberi nasihat, “kuberi petunjuk
ya. Jangan lupa kalikan sepuluh”. Kemudian, subyek menilai kemampuan dua anak
lelaki itu. Anak di semua usia menganggap siswa yang diberi bantuan adalah anak
yang lemah kemampuannya ketimbang anak yang tidak diberi petunjuk. Tampaknya,
niat baik guru untuk membantu mungkin dianggap si penirima dan pengamat sebagai
tanda ketidakmampuan si penerima bantuan. Ancaman terhadap harga diri mungkin
menyebabkan orang enggan menerima bantuan, meski ia sangat membutuhkannya.
B.
Norma
Resiprositas dan Biaya utang budi
Memberi
bantuan berarti pula bertukar sumber daya. Seperti yang telah kita lihat, ada
norma reriprositas kultural, yang menyatakan bahwa kita harus membantu orang
yang pernah membantu kita. Akibatnya, bukan sering diapresiasi jika dapat
dibalas sehingga ada keseimbangan dalam hubungan. Orang kemungkinan meminta
bantuan jika mereka menganggap dirinya bisa membalas budi kelak (Fisher et al,
1982). Orang lebih mungkin mengapresiasi penolong jika mereka bisa memberi
balas budi atas bantuan yang mereka terima. Dalam hubungan personal dengan
kawan dan kerabat, seling mambantu adalah soal lumrah. Sesame teman saling
memberi nasihat, bertukar hadiah, dan saling membantu. Karena kita tahu bahwa
kita pernah membantu teman dan punya kesempatan untuk membalas budi, maka kita
nanati tidak akan enggan untuk minta bantuan lagi (Wills, 1992).
Sebaliknya,
ketika pertukaran bantuan dalam suatu hubungan adalah satu arah, maka ini
menimbulkan utang budi yang dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dalam
hubungan (Nadler,1991). Misalnya, orang dewasa yang mendapat bantuan uang dari
orang tuanya mungkin mengapresiasi bantuan itu tetapi mungkin merasa bahwa
orang tuanya lebih kuat pengaruhnya terhadap dirinya karena dirinya pernah
dibantu. Ringkasnya, bantuan satu arah dapat mengancam keseimbangan hubungan
dan kekuasaan.
C.
Teori
Reaktansi: kehilangan kebebasan
Reactance
theory (teori reaktensi) juga memberikan
penjelasan dalam soal bantuan membantu ini. Menurut teori ini (Brehm, 1966),
orang ingin memaksimalkan kebebasan personalnya dalam memilih. Jika kita
menganggap kebebasan kita terancam, kita sering bereaksi negative, misalnya
memusuhi. Keadaan psikologis yang tidak tidak nyaman ini dinamakan “reaktansi”.
Ancaman kehilangan kebebasan mungkin menyebabkan kita menegaskan kembali
kemandirian kita. Misalnya, ketika penerima bantuan asing mengkritik kebijakan
AS, mereka mungkin secara simbolis membuktikan independensinya dan karenanta
mereduksi perasaan reaktansi psikologis. Demikian pula, ketika anak menolak
bantuan orang tuanya, mereka mungkin bereaksi terhadap ancaman otonomi
personalnya. Riset terhadap orang dewasa yang menerima bantuan dari anggota
keluarga setiap hari seperti mengenakan pakaian, menyiapkan makanan
(Newsom,1999) sering memberi reaksi negative terhadap bantuan itu. Dalam sebuah
studi, orang dewasa itu sering menerima bantuan akan merasa lelah, tergantung,
dan tidak mampu (Newsom, Adams, Rahim, Mowry, & Rogers,1998). Mereka
terkadang berutang budi dan ingin membalas jasa. Mereka juga cemas akan
kehilangan harga dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, Robert. A., Donn Byrne. (2005). Psikologi
Sosial Edisi Kesepuluh Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Taylor, Shelley. E., Letitia Anne Peplau, David
O. Sears. (2012). Psikologi Sosial Edisi
Kedua Belas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
No comments:
Post a Comment