Identifikasi
Anak Berbakat
Pengertian kontemporer
tentang keberbakatan memang telah demikian berkembang dan kriterianya sudah lebih multidimensional
daripada sekedar intelegensi (umum, atau “g faktor” menurut Spearman) seperti
yang pernah digunakan oleh Terman.
IQ hanya salah satu kriteria
keberbakatan
.
Dengan perluasan kriteria ini, persoalan identifikasi anak-anak berbakat menjadi lebih rumit dan harus menggunakan beragam teknik dan alat ukur, Idealnya semua kriteria tersebut harus dideteksi dengan menggunakan teknik dan prosedur, karena menurut berbagai studi tidak semua dari faktor-faktor itu berkorelasi satu sama lain. Misalnya IQ dan kreativitas. Keberbakatan itu bersifat multidimensional, kriterianya tidak hanya intelligensi, melainkan kreativitas, kepemimpinan, komitmen pada tugas, prestasi akademik, motivasi dan lain-lain.
.
sumber : vitabumin.wordpress.com
Dengan perluasan kriteria ini, persoalan identifikasi anak-anak berbakat menjadi lebih rumit dan harus menggunakan beragam teknik dan alat ukur, Idealnya semua kriteria tersebut harus dideteksi dengan menggunakan teknik dan prosedur, karena menurut berbagai studi tidak semua dari faktor-faktor itu berkorelasi satu sama lain. Misalnya IQ dan kreativitas. Keberbakatan itu bersifat multidimensional, kriterianya tidak hanya intelligensi, melainkan kreativitas, kepemimpinan, komitmen pada tugas, prestasi akademik, motivasi dan lain-lain.
Alat
yang dapat dipergunakan dalam melakukan identifikasi anak berbakat diantaranya
adalah :
1.
Kemampuan intelektual umum; “Pengukuran kemampuan
intelektual umum diperoleh melalui pengukuran kekuatan otot, kecakapan gerak,
sensitivitas terhadap rasa sakit, kecermatan dalam pendengaran dan penglihatan,
perbedaan dalam ingatan dan lain-lain yang semua disebut “tes mental”.
2.
Tes inteligensi umum; Salah satu perkembangan yang amat
penting dalam pengmbangan pengukuran intelegensi adalah timbulnya skala
Wechsler dalam mengukur inteligensi orang dewasa dengan menggunakan norma tes
bagi perhitungan IQ yang menyimpang.
3.
Tes kelompok kontra tes individual; Tes kelompok lebih
banyak digunakan dalam system pendidikan, pelayanan pegawai, industri dan
militer. Tes kelompok dirancang untuk sekelompok tertentu, biasanya tes
kelompok menyediakan lembar jawaban dan “kunci- kunci” tes. Bentuk tes kelompok
berbeda dari tes individual dalam menyusun item dan kebanyakan menggunakan item
pilihan ganda.
4.
Pengukuran hasil belajar; Tes ini mengukur hasil
belajar setelah mengikuti proses pendidikan. Tes hasil belajar ini berbeda
dengan tes bakat, tes inteligensi, tes hasil belajar pada umumnya merupakan
evaluasi terminal untuk menentukan kedudukan individu setelah menyelesaikan
suatu latihan atau pendidikan tertentu. Penekanannya terutama pada apa yang
dapat dilakukan individu saat itu setelah mendapatkan pendidikan tertentu.
Tes hasil
belajar individual; Pada umumnya tes hasil belajar adalah tes kelompok yang
bermaksud membandingkan kemajuan belajar antar individu sebaya, namun disini
hanya hasil belajar individual saja.
Pengidentifikasian seorang siswa sebagai
anak berbakat (AB) dan bukan anak berbakat (Non-AB) bukanlah untuk memenuhi
hasrat orang tua memiliki anak dengan label trtentu. Hal inilah yang diingatkan
oleh Miller (1981) dalam bukunya Prisoners
of Chilhood bahwa ada kecenderungan dari oang tua anak berbakat yang
menggunakan keberbakatan anaknya untuk memenuhi hasrat narsistik mereka.
Identifikasi
anak berbakat bukan pula bertujuan sebagaimana dugaan kebanyakan orang untuk
melakukan kategorisasi kemampuan anak berbakat. Colangelo dan Davis (1991)
menggarisbawahi bahwa jika tujuan menemukan anak berbakat dengan dua alasan
tersebut, program pendidikan yang dibuat seharusnya tidak perlu ada.
Brandwein
(1980) menyebutkan identifikasi merupakan suatu proses ketika kita berupaya
untuk menyadari bahwa siswa dengan kemampuan, motivasi, dan kapabilitas kreatif
yang melampuo rata-rata anak sebayanya membutuhkan pelayanan pendidikan
berdiferensiasi untuk memenuhi kemajuan pendidikannya secara optimal. Jadi,
dengan memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan hak dan karakteristik
personalnya, berarti membantu mereka untuk mencapai tingkatan yang dapat mereka
capai setinggi mungkin
.
Bagi
Colangelo dan Davis (1991). Identifikasi seharusnya memenuhi kebutuhan untuk
menempatkan siswa dalam program pendidikan yang didesain untuk potensi talent mereka. Demikian pula yang
disampaikan Hoover dan Feldhusen (1987), satu-satunya tujuan identifikasi
adalah mengarahkan proses pendidikan dan memberikan pelayanan.
Namun,
banyak pakar melihat bahwa proses identifikasi yang dilakukan di kebanyakan
sekolah telah out of the right,
khususnya jika identifikasi menjadi akhir dari proses itu sendiri. Hal ini
terjadi karena pelayanan pendidikan bagi AB di sekolah-sekolah sangat terbatas
atau malah nonexistent.
Kekeliruan
juga terjadi karena para guru, para administrator, an sering kali para orang
tua merasa bahwa dimasukkannya seorang siswa dalam program AB sebagai suatu reward
atas prestasi perilaku baik, yang secara opersional didefinisikan
sebagai konformitas terhadap sekolah dan mampu memenuhi harapan seorang pengikut tes. Jadi, pendidik
lebih melihat keinginan melakukan proses identifikasi untuk memastikan kembali bahwa nilai-nilai
yang ada dalam sistem sekolah mencerminkan adanya komitemn terhadap kemampuan
mereka. Padahal, menurut Colangelo dan Davis, hal tersebut merupakan distorsi
dari tujuan program bagi AB, sebab standar kurikulum yang ada jarang
maksimalkan potensi luar biasa yang dimiliki oleh AB.
·
Screening (penjaringan)
Yaitu
dengan menggunakan nilai raport terakhir
·
Selection (penyaringan)
Yaitu
hasil dari test IQ dan task commitement
·
Pokok-Pokok
Identifikasi AB (anak berbakat)
1.
Validitas dan
Kesesuaian
Pokok
utama yang terkait erat dengan identifikasi adalah validitas dengan
memperhatikan tujuan program dan pelayanan. Proses identifikasi seharusnya appropriate untuk menyeleksi siswa yang
membutuhkan dan akan beruntung dengan adanya pelayanan program tersebut.
Contohnya, Program future Problem Solving (FPS) yang dikembangkan oleh
Flack dan Feldhussen. Kemampuan dan keterampilan verbal, derajat motivasi yang
tinggi, kapasitas kreatif dan keterampilan studi mandiri dilihat sebagai
kemampuan dan karakteristik siswa yang membutuhkan dan memperoleh keuntungan
dari program FPS tersebut. Suatu proses identifikasi yang valid akan
mengikutsertakan kekuatan-kekuatan dari setiap ciri di atas.
Dengan
demikian, asesmen dalam bidang studi matematika dan sains yang diperoleh dalam
tes-es standar untuk program FPS di atas seharusnya menjadi kuran relevan dan
akan menggambarkan proses yang tidak valid. Secara singkat, proses identifikasi
haruslah menyeleksi siswa dengan kebutuhan-kebutuhan, kemampuan-kemampuan, dan
kaarakteristik yang fit dengan goals dari pelayanan adanya definisi tentang
keberbakatan itu sendiri.
2.
Input dari Orang Tua
Orang
tua memiliki sejumlah pengetahuan yang relevan bagi prses identifikasi. Mereka
memahami kemampuan, motivasi, konsep diri, dan kapasitas kreatif dari
anak-anaknya secara baik. Terlebih lagi, mereka mampu melihat anak-anak dalam
situasi bebas yang kurang dibatasi oleh lingkungan kelas. Orang tua sering kali
memiliki informasi nyang tidak disadari oleh guru, yang dapat menjadi nilai
sangat berharga dalam proses identifikasi
3.
Kombinasi Data Asesmen
Dianjurkan
agar menggunakan multiple sources dan
menghindari penggunaan kriteria tunggal. Pengambilan keputusan ditunda samapi
seluruh data yang berkaitan dengan siswa selesai di pelajari dengan cermat.
Data yang dikumpulkan bersifat objektif ataupun subjektif. Namun, masalahnya
tidak mudah untuk menjumlahkannya menjadi satu, sebab skor-skor yang ini,
Baldwin (1978) memiliki jawaban, yaitu dengan cara membuatnya menjadi matriks
den seluruh skor dikonversikan dalam skala yang terdiri dari lima tingkatan (skor
1-5). Setelah itu, baru dijumlahkan untuk mendapat skor total keberbakatan.
Penggunaan
check list dan data informal lainnya
dari orang tua (parent nomination),
guru (teacher nomination), dan
temansebaya (peer nomination), bahkan
diri sendiri (self- nomination)
sebaiknya digunakan secara tepat sebagai komplemen tes dan data tentang
prestasi sekolah. Guru meerupakan sumber observasi yang baik untuk perilaku
kreatif siswa. Namun, tanpa adanya pelatihan bagi guru tentang karakteristik
keberbakatan, data dari guru menjadi kurang berguna. Sementara itu, nominasi
teman berguna untuk menggali potensi kepemimpinan dan ciri keberbakatan lainnya
yang kurang dimunculkan dan terlihat oleh guru didalam kelas.
4.
Asesmen
Berkesinambungan
Proses
identifikasi bukan hanya dilakukan dalam satu kali proses saja, yaitu
mengidentifikasi secara sederhana, memberi label dan kategorisasi AB dan
Non-AB. Namun, harus dilakukan secara berkala, berkesinambungan. Hal ini perlu
disadari mengingat anak akan tumbuh, berkembang, dan berubah. Talenta dan
kemampuan siswa akan mengalami proses diferensiasi dan spesialisasi bersamaan
dengan masuknya mereka dalam jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan
menengah. Oleh karena itu, prosedur identifiksasi bagi siswa SD dan SLTP/SLTA
berbeda. Dalam reassesment, sebaiknya pertanyaan lebih di tujukan
untuk menemukan perubahan kecakapan atau karakteristik dan munculnya talenta
khusus. Untuk itu, perlu ditanyakan apakah siswa memerlukan kebutuhan khusus
sehingga mebutuhkan pelayanan pendidikan khusus yang berbeda pula.
5.
Reliabilitas
Reliabilitas
dari skor tes, skala rating, data observasi, dan pengukuran lainnya yang
digunakan dalam mengakses AB sangat beragam sehingga ketidaktepatan selalu bisa
terjadi. Skor-skor yang diperoleh dari tes inteligensi dan tes prestasi belajar
kemungkinan besar reliabilitasnya tinggi.
Namun,
pengukuran lain seperti prosedur nominasi, skala rating, tes kreativitas,
inventori konsep diri, reliabilitasnya sangat rendah. Jadi, jika asesmen ini
diulang atau dilakukan oleh pemeriksa lainnya, skornya mungkin saja berbeda.
Dengan diketahuinya reliabilitas suau tes atau prosedur asesmen lainnya, dapat
membantu kecermatan proses identifikasi.
6.
Ceiling
Effect dan
Off-Grade Level Testing
Jika
suatu tes dikerjakan dengan mudah oleh seorang anak dengan tingkat usia
tertentu atau suatu tes tiak mampu menunjukkan keseluruhan kemampuan anak, ini
disebut Ceiling Effect.Solusi yang
biasa dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan prosedur yang disebut Off-Grade Level Testing. Dalm prosedur
ini, anak diberi suatu tes yang derajat kesulitannya lebih tinggi dari usia
anak. Cara ini diharapkan cukup menantang anak untuk unjuk prestasi
tertingginya.
Biasanya
jika siswa diberikan tes prestasi baku (standarized
achievment tet) yang sesuai dengan tingkatan kelasnya, siswa yang sangat
berprestasi akan mampu memperoleh skor dalam persentil 95 dan ceiling effect yang terjadi mungkin tidak akan dapat
menjelaskan achievment siswa yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, agar mendapatkan gambaran individu yang
sesungguhnya, mereka diberi sampel butir-butir soal yang lebih sulit. Idealnya,
dalam test tertulissiswa dapat menjawab separuh dari keseluruhan soal tes
dengan benar. Dengan demikian, diperoleh suatu gambaran true achievment dari siswa.
Sejak
dua dekade yang lampau telah dikembangkan suatu proses tes yang interaktif,
yaitu tersedia sejumlah besar bank butir soal tes. Prosedur ini bergantung pada
pilihannya butir soal tes oleh siswa. Jika satu butir soal dipilih makan akan
muncul butir soal lainnya yang sulit. Sebaliknya jika siswa gagal, butir soal
yang muncul berikutnya adalh butir soal yang mudah. Kesudahannya secara singkat
tes akan mencapai tingkat keberhasilan/ kegagalan seorang siswa.
7.
Kinerja
Proses
identifikasi AB terutama berdasarkan pada assesment yang mutakhir dari seberapa
baik kinerja siswa dalam tugas-tugas yang relevan di dalam keberbakatan.
8.
Uji Coba sebagai
Identifikasi
Untuk
menetralkan reliabilitas yang rendah dalam prosedur identifikasi, koordinator
program AB sebaiknya memandang program uji coba sebagai kepajangan proses
identifikasi dan menawarkan kesempatan kepada siswa sebanyak-banyaknya yang
termasuk dalam kategori borderline.
Mengamati kinerja para siswa dalam program uji cobba merupakan data tambahan
yang berharga untuk mengakses keberbakatan yang potensial. Siswa yang dapat
mencapai hasil baik dalam program, kebanyakan secara langsung mendemonstrasikan
satu kriteria yang diinginkan dalam program AB. Salah satu pendekatan dalam
identifikasi anak berbakat adalah dengan memberikan pelatihan pada guru tentang
karakteristik AB dan pelatihan membuat struktur dalam aktivitas kelas sehingga
memberikan kesempatan pada anak berbakat untuk mendemonstrasikan
keberbakatannya secara optimal. Pendekatan ini dianggap efektif untuk
menidentifikasi anak berbakat yang datang dari berbagai latar belakang yang
berbeda.
·
Proses
pengumpulan informasi
Alexander dan Muia,
membedakan dua kategori umum proses pengumpulan informasi dan analisis unutk
pengambilan keputusan tentang siapa yang akan masuk dalam program AB.
1. Strategi
Informasi Data Objektif, yaitu dala mbentuk
perolehan hasil tes dengan data yang bersifat kuantitatif. Sumber – sumber data
objektif, misalnya tes intelegensi, tes prestasi belajar, dan nilai prestasi
akademik. Keputusan yang diambil berupa skor, rangking atau presentase.
2. Strategi
Informasi Data Subjektif, yaitu diperoleh dari
check list perilaku, nominasi oleh orang tua, guru, teman sebaya, dan diri
sendiri. Kelemahan informasi data subjektif menyangkut pada soal ketepatan ,
konsistensi, dan keadilan dalam pengambilan keputusan.
·
Model
Identifikasi
1.
Individual
Education Plan Model ( IEP)
Model Rencana
Pendidikan Individual ditujukan untuk menemukan anak – anak yang memiliki bakat
khusus yang spesifik, yang tidak mungkin diperolehnya melalui program
pendidikan di kelas regular. Jumlah anak yang tersaring hanya 2%. Metode
seleksi yang digunakan adalah studi kasus, tes IQ, dan staffing. Objektif kurikulum dikembangkan untuk memberikan program
yang sesuai dengan kebutuhan spesifik individu.
2.
The
General Intellectual Ability Model
Model Kecakapan Intelektual Umum
ditujukan untuk menjaring siswa yang mempunyai taraf IQ tertentu agar dapat
mengikuti pelayanan program pengayaan
atau akselerasi. Jumlah anak yang tersaring hanya 5%. Metode seleksi yang
dipergunakan adalah tes IQ, tes kecakapan, dan check list dari karakteristik keberbakatan.
3.
The
Specific Academic Aptitude Model
Model Bakat Akademik Khusus ditujukan
untuk mengidentifikasi anak berdasarkan pada prestasi akademiknya dalam bidang
studi tertentu, agar dapat diikutsertakan dalam program akselerasi atau program
pengayaan. Jumlah anak yang tersaring berkisar antara 5-10% per bidang studi.
Metode seleksi yang digunakan adalah tes baku dalam bidang studi dan
rekomendasi guru.
4.
Revolving
Door Identification Model (RDIM)
Model identifikasi ini dikembangkan oleh
Renzulli, yaitu setaip anak yang mencapai skor tinggi pada tes prestasi baku
tertentu dimasukkan ke dalam talent pool
untuk diberikan berbagai program yang sesuai dengan minatnya. Jika anak mampu
menunjukkan prestasi dan pengikatan diri terhadap tugas secara menonjol, anak
dapat memasuki tahap berikutnya, yaitu resource
program. Di sini bakat anak dieksploitasi lebih jauh oleh guru. Jumlah anak
yang disaring sebanyak 20%. Metode seleksi yang digunakan bervariasi untuk
memperoleh sebanyak mungkin siswa yang memenuhi syarat.
·
Proses
Identifikasi
De Haan dan Wilson,
menyebutkan adanya dua proses identifikasi, yaitu tahap penjaringan (screening) dan tahap penyaringan (selection).
Dalam proses penjaringan, semua
siswa yang ada dalam kelompok sasaran dites dan diobservasi, untuk kemudian
diurutkan kecakapannya dari yang tertinggi hingga yang terendah menurut hasil
tes dan hasil observasi. Sebaiknya digunakan penjaringan yang beragam, seperti
tes intelegensi kelompok, hasil tes prestasi baku, tes kreativitas, nominasi
oleh guru, nominasi oleh orang tua, nominasi oleh teman sebaya, dan nominasi
oleh diri sendiri, data anak dan produk dari anak (Martinson, 1994). Hal ini
dilakukan agar proses identifikasi yang dilakukan betul – betul akan memperoleh
AB yang sebenarnya dan tidak akan kehilangan seorang siswa pun yang tergolong
AB. Anak yang diikutsertakan dalam tahap ini adalah untuk mendapatkan anak –
anak dalam top 5%. Besarnya presentase ini sesuai dengan pendapat Heck, yang
merasa lebih convenient untuk
menyebutkan skor kemampuan umum IQ seorang AB adalah 125.
Pada tahap proses penjaringan,
coordinator program anak berbakat telah menentukan skor batas yang digunakan
untuk seorang siswa, apakah diterima dalam program AB atau tidak. Dalam model The Specific Academic Aptitude ,
misalnya bidang matematik, siswa yang tergolong berbakat memiliki skor pada
presentil 95.
Proses seleksi merupakan proses
penetuan unutk memutuskan siswa mana-mana saja yang diikutsertakan dalam
program AB. Ada baiknya digunakan studi kasus unutk menetapkan rencana
pendidikan bagi siswa.
·
Identifikasi
Anak Berbakat di Indonesia
Proses identifikasi anak berbakat
dengan prosedur prose penjaringan dan penyaringan digunakan di Indonesia untuk
pertama kalinya pada tahun 1983. Proses ini dilakukan di Sekolah Perintisan
Anak Berbakat yang berada di bawah Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mula – mula digunakan tes
inteligensi kelompok, angka rapor, dan nominasi guru untuk menyaring
keseluruhan populasi siswa kelompok sasaran. Penggunaan instrument ini dianggap
dapat memenuhi tujuan proses penyaringan, yaitu dalam waktu yang relatif
singkat dan dengan biaya seringan mungkin akan diperoleh siswa – siwa mana dari
keseluruhan populasi siswa di sekolah yang memenuhi syarat untuk mengikuti
tahap berikutnya, yaitu tahap penjaringan. Baru kemudian dalam tahap proses
seleksi digunakan tes inteligensi individual atau yang berdiferensiasi, tes
kreativitas, dan tes prestasi baku yang disusun oleh pusat pengujian Balitbang
Depdikbud. Untuk menentukan siswa mana yang diidentifikasi sebagai berbakat
dipertimbangkan kombinasi dari ketiga alat ukur tersebut.
Alat tes inteligensi kelompok yang
sering digunakan adalah Progressive
Matrices, Culture Fair Intelligence Test, Tes Inteligensi Kolektif
Indonesia, sedangkan tes Inteligensi individual yang banyak digunakan adalah Wechsler Intelligence Scale for Children.
Untuk mengidentifikasi taraf
pemikiran kreatif, alat tes yang digunakan berasal dari Tornance Test of Creative Thinking dalam bentuk verbal dan bentuk
figural, yang lebih dikenal sebagai Tes Kreativitas Verbal dan Tes Kreativitas
Figural. Kedua tes ini untuk pertama kalinya dikonstruksi oleh Utami Munandar
dalam penulisan disertasinya Creativity
and Education tahun 1997.
Untuk pengikatan diri terhadap
tugas, indicator yang mula – mula digunakan dalam penjaringan siswa berbakat
intelektual pada Sekolah Perintis Keberbakatan oleh Prof. DR. Utami Munandar
adalah angka rapor, pada bidang studi tertentu. Namun kemudian, saya
berinisiatif untuk mengukur pengikatan diri terhadap tugas melalui suatu alat
dalam bentuk skala yang dikonstruksikan dari pemahaman-pemahaman yang ada dalam
pengikatan diri terhadap tugas itu sendiri,
Untuk itu, sejak tahun 1994 telah
digunakan inventori pengikutan diri terhadap tugas, seperti (Skala TC-Rendi)
untuk murid sekolah dasar dan (Skala TC-YA/FS Revisi) untuk siswa SMU. Kedua
skala tersebut berasal dari alat yang disusun untuk penelitian bagi keperluan
penyelesaian penulisan disertasi dan tesis. Selanjutnya, atas inisiatif
penulis, skala pengikatan diri terhadap tugas tersebut diberi kode yang diambil
dari mana pembuat alat. Misalnya, Skala TC-YA/FS disusun oleh Fadhillah
Suralaga, yang saat itu dalam pembimbingan penulis untuk menyelesaikan tesis
guna meraih gelar Magister Sains dalam bidang Psikologi Pendidikan. Alat yang
ia susun itu sebagian besar berasal dari butir – butir soal dalam alat yang
disusun oleh Yaumil A. Achir untuk keperluan disertasinya. Butir – butir soal
yang masih valid dan ditambah dengan
butir – butir soal yang ia buat sendiri menjadi cikal bakal Skala TC-YA/FS.
Setelah mendapat persetujuan dari mahasiswa yang bersangkutan bahwa alat yang
disusunnya tersebut akan digunakan dalam praktik, saya segera memberi kode pada
skala itu, yang tujuannya untuk mengingatkan saya pada asal usul penyusunan
skala tersebut.
Selain instrument di atas, digunakan
pula Format Pencalonan Siswa Berbakat oleh guru. Untuk tingkat sekolah dasar
meliputi sepuluh ciri keberbakatan dan sekolah menengah meliputi empat belas
ciri keberbakatan. Dua nama yang paling unggul dinilai kembali oleh guru
melalui suatu Format Penilaian Siswa Berbakat, yang meliputi empat bidang ciri,
yaitu ciri – ciri belajar, ciri – ciri tanggung jawab terhadap tugas, ciri –
ciri kreativitas, dan ciri – ciri kepemimpinan.
·
Identifikasi
AB dalam Program Akselerasi
Berikut ini disampaikan
profil skor batas AB yang tergolong midly
gifted (IQ 115-129) dengan pendekatan multikriteria Renzulli, yang biasa
digunakan penulis dalam praktik indetifikasi di sekolah dasar dan sekolah
menengah untuk pelayanan pendidikan kelas khusus.
Bagi AB murid sekolah dasar, taraf
kecerdasan IQ 120 ke atas (Skala Wechsler),
taraf kreatif CQ 110 ke atas (Skala TKFUM), dan taraf pengikatan diri terhadap
tugas TC 132 ke atas (Skala TC-Rendi).
Namun, khusus untuk program
akselerasi, sebagian besar literarur yang menjadi referensi ditetapkan batas
minimal IQ adalah 130. Dengan perkataan lain, siswa akseleran tergolong dalam moderate
gifted (IQ = 130 – 145).
Jika saat ini pemerintah melalui Direktorat
PLB menetapkan skor IQ siswa akselerasi = 125, penulis kira masih bisa
ditoleransi dengan pemahaman bahwa angka ini merupakan batas minimal. Untuk
menjaga kualitas siswa akseleran, penulis berharap sekali agar pihak
penyelenggara memperhatikan dan menaati ketentuan dalam identifikasi ini.
Pelayanan
Bagi Anak Berbakat
Sesuai dengan iklim
demokratisasi indonesia yang tengah berkembang di Indonesia, layanan pendidikan
bagi anak berbakat pun perlu mendapatkan perhatian yang proporsional. Kapasitas
intelektual mereka yang tinggi dan ciri-ciri kepribadian yang dimilikinya tidak
sama dengan anak yang memiliki kategori rata-rata/ normal.
Keberbakatan mencakup spektrum yang
cukup luas, sementara saat ini yang diakomodasi baru keberbakatan intelektual.
Untuk masa depan, pemerintah perlu memikirkan model layanan pedidikan lain
dalam bidang keberbakatan. Model-model teersebut anatar lain sebagai berikut:
1.
Akselerasi
Bidang Studi
Dimasa
mendatang, akselerasi hanya bisa untuk satu mata pelajaran yang menonjol dan
sangat dikuasai siswa. Model pelayanan seperti ini disebut akselerasi di bidang
studi.
2.
Mentorship
Akselerasi
tidak harus melayani lima belas orang siswa persekolah yang memenuhi syarat.
Seandainya hanya ada satu orang siswa, sekolah harus mampu melayani karena hal
tersebut memang terkait dengan hak asasi siswa sebagai individu. Model
pelayanan ini dikebal dengan mentorship
atau yang dikenal self paced instruction.
3.
Sistem
Kredit
Teknik
pelayanan akselerasi juga bisa dilakukan secara sistem kredit. Semua tipe
pelayanan akselerasi di atas hanya mungkin bisa dilakukan setelah sekolah
mengenal pentingnya layanan pendidikan bagi anak berbakat ini.
4.
Pengayaan
Materi pada Mata Pelajaran Tertentu
Jika
akselerasi membuat anak dalam satu kelas bersifat khusus dan eksekutif , bisa
dibuat dengan cara pull out program,
yaitu hanya pada hari tertentu saja, atau pada mata pelajaran tertentu saja
pengayaan diberikan pada siswa. Selebihnya siswa berada dalam satu kelas dengan
anak lainnya.
5.
Kelas
Super Saturday
Pelayanan
belajar bagi anak berbakat dalam bentuk kelas super Saturday, yaitu pengayaan materi yang dilakukan setiap hari
sabtu dalam berbagai bidang diluar mata pelajaran yang diberikan, misalnya
tentang kelautan, psikologi, meteorologi, penulisan kreatif, dan
penyutradaraan. Hal ini juga menarik karena membuat anak tidak jenuh karena
hanya terkooptasi dengan masalah pelajaran yang merangsang aspek kognitifnya
saja. Pran ini bisa diambiloleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti
Inagate center (Indonesia Gifted and
Talented Education Center), yang didalamnya ada berbagai individu dari
latar belakang disiplin ilmu yang
berbeda dan ingin melakukan legiatan khusus pengayaan dari berbagai jenis
keberbakatan.
6.
Pendirian
Pusat Keberbakatan
Bidang-bidang
bakat lainnya tidak kalah penting. Untuk itu, pemerintah akan berupaya
membangun semacam pusat keberbakatan di masa mendatang. Lembaga ini akan
mewadahi dan memberikan pelayanan terhadap anak berbakat kesenian, berbakat
kebudayaan, berbakat olahraga, dan lain-lain termasuk berbakat intelektual.
Lembaga ini berlokasi di tiga wilayah, yakni Indonesia bagain Timur, Tengah dan
barat.
7.
Sertifikasi
bagi Guru Pengajar Gifted
Hal
lain yang menjadi perhatian pemerintah ke depan adalah masalah kependidikan
bagi guru. Di Amerika serikat, guru yang mengajar bersertifikat khusus bagi gifted. Sertifikasi ini penting untuk
menjaga kualitas layanan pendidikan, jangan sampai guru yang mengajar tingkat
kemampuan intelektualnya kalah dengan siswa. Guru juga harus dipacu untuk terus
belajar, bahkan sampai meraih gelar strata 3 (Doktor). Di Amerika Serikat, guru
yang mengajar untuk kelas anak berbakat sudah dikembangkan ke arah itu. Caranya
adalah bekerja sama dengan perguruan tinggi, misalnya Universitas Indonesia
perlu mengembangkan Pusat Keberbakatan (Center
of Gifted Education). Lembaga ini tidak saja melakukan penelitian, tetapi
membuka juga pendidikan Lanjutan (continuining
edducation) bagi guru. Dalam keperluan ini pula, pemerintah turut mendukung
usaha untuk dibukanya Program Magister Psikologi Terapan khusus Keberbakatan.
Keberbakatan
dan Kreativitas Dalam Perspektif Islam Kreativitas
Jika kita membaca riwayat hidup
filosof-filosof, Nabi-Nabi, pembaharu-pembaharu masyarakat, selalu kita
berjumpa dengan siksaan dan penderitaan yang mereka alami sebab, mereka berbeda
atau menentang masyarakat banyak. Banyak diantara mereka di bunuh,
dipenjarakan, dicaci, dimaki dan lain-lain, tetapi sebab mereka berbeda percaya
bahwa apa yang di bawanya itu adalah benar, maka mereka berani menanggung
sengsara itu semua. Tetapi ternyata kemudian fikiran-fikiran yang dibawa oleh
filososf, Nabi-nabi, ulama-ulama, ahli-ahli pikir sains dan lain-lain itulah
yang kekal, sedang orang-orang yang menentang, hilang satu persatu tidak
disebut oleh sejarah. Oleh sebab itu negara-negara modern sekarang ini sadar
bahwa mengabaikan kreativitas yang ada pada kanak-kanak ini adalah suatu
kerugian besar bagi bangsa dan negara. Malah mengembangkan dan memeliharanya
adalah suatu tugas nasional yang harus di pikul oleh pendidik-pendidik.
Disinilah kita lihat bagaimana konsep pengajaran kanak-kanak yang mempunyai
kreativitas ini perlu dikenal bagi tiap guru-guru, supaya guru itu dapat
menjadi pembuka jalan bagi perkembangan kreativitas kanak-kanak yang dididiknya,
bukan orang yang menjadi penghalang
kreativitas tersebut.
Dalam konteks sekolah, perkembangan
kreativitas kanak-kanak bukan hanya bergantung pada guru-guru, tetapi juga pada
pemimpin-pemimpin terutama kepala sekolah, penilik-penilik sekolah dan lain-lain,
orang yang bertanggung jawab disekolah.
Jika ingin melihat lebih luas lagi orang tua
dirumah, pemimpin-pemimpin masyarakat semua boleh dianggap turut bertanggung
jawab atas perkembangan kreativitas ini pada kanak-kanak.
Kreativitas sendiri mengikuti William Blake
“some source of spiritual energy in whose exercise we experience in some way
the activity of god”.
Dalam pendidikan islam kita pelajari bahwa
kreativitas (Creativity) merupakan salah satu sifat Allah “AL-Khaliq” yang
dapat dikembangkan pada diri manusia, dan itu menurut filosof islam, dianggap
ibadah dalam pengertiannya yang sangat luas.
Jika kreativitasa ini memang merupakan potensi asal manusia, maka
peengembangannya merupakan tugas utama pendidik-pendidik termasuk calon-calon
guru yang akan dikeluarkan oleh perguruan-perguruan dan universitas. Berkenaan
dengan latihan guru ini peerlu difokuskan pada dua aspek saja, yaitu program
pendidikan guru dan program pendidikan dalam perkhidmatan (inservice).
·
Dalam Perspektif Islam
o
Perhatikanlah
bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan
pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.
(Qs.Al-Israa: 21)
o
Dan
Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs. Al-an’am:165)
o
Yang
demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga
kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu. (Qs.
Al-anfaal:53)
o
Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, (Qs.
Al-Insyirah:05)
o
Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Qs.
Al-Baqarah:219)
o Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia. (QS: Ar-Ra'd Ayat: 11)
DAFTAR PUSTAKA
Reni Akbar, Hawadi.
2004.AKSELERASI . A-Z program percepatan
belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta : PT. Grasindo Anggota Ikapi
Langgulang,
Hasan. Prof.DR. 1995.MANUSIA DAN
PENDIDIKAN: Suatu analisa psikologi dan pendidikan (Cetakan III). Jakarta :
PT. ALHUSNA ZIKRA
Colangelo, N.,
Davis, G.A. 1991. Handbook of Gifted
Education.
No comments:
Post a Comment