Banyak dari pikiran yang mengandung
motivasi-motivasi tertentu. Tujuan seseorang secara parsial menentukan
bagaimana mereka
mencari dan mengukur informasi yang diperoleh dari berbagai sumber. Tema rekognisi semacam ini menghasilkan suatu bidang ilmu psikologi yang terintegrasi mengenai motivasi dan kognisi sosial. Sejak paruh pertama dari abad ke-20, para psikolog menjelaskan motivasi dengan merujuk kepada kebutuhan fisiologis, instings, atau dorongan. Pada masa sekarang ini, sebagian besar peneliti menjelaskan motivasi manusia dengan merujuk pada proses berpikir manusia. Refleksi seseorang tentang tindakannya di masa lalu, prospek masa depannya, dan kualitas personal mempengaruhi perbedaan individual dan koherensi intraindividual dalam melakukan tindakan yang bermotivasi (Caprara, 2000:339).
mencari dan mengukur informasi yang diperoleh dari berbagai sumber. Tema rekognisi semacam ini menghasilkan suatu bidang ilmu psikologi yang terintegrasi mengenai motivasi dan kognisi sosial. Sejak paruh pertama dari abad ke-20, para psikolog menjelaskan motivasi dengan merujuk kepada kebutuhan fisiologis, instings, atau dorongan. Pada masa sekarang ini, sebagian besar peneliti menjelaskan motivasi manusia dengan merujuk pada proses berpikir manusia. Refleksi seseorang tentang tindakannya di masa lalu, prospek masa depannya, dan kualitas personal mempengaruhi perbedaan individual dan koherensi intraindividual dalam melakukan tindakan yang bermotivasi (Caprara, 2000:339).
Grazino (1997) menyatakan bahwa Konsep Diri dapat mempengaruhi perilaku
seseorang. Orang-orang yang membayangkan diri mereka sebagai pekerja keras dan
pribadi sukses akan menjaga kinerjanya melampaui kinerja orang yang
membayangkan dirinya sebagai orang yang gagal. Dengan melihat
kemungkinan-kemungkinan positif pada diri kita maka kita lebih mungkin untuk
merencanakan dan melaksanakan suatu strategi untuk meraih kesuksesan. Itulah
masalah-masalah yang berkaitan dengan presepsi control diri, yaitu masalah
motivasi di dalam hidup dan kehidupan ini.
Motivasi merupakan kekuatan
pendorong yang mengarahkan manusia menuju kondisi akhir yang diinginkan. Akar
dari kata “motivasi” adalah bergerak. Gerakan tersebut berkaitan dengan gerakan
mendekati atau menjauhi akibat tertentu dengan melakukan hal-hal tertentu. Kontrol
diri atau sering disebut juga dengan regulasi diri terjadi ketika seseorang
berusaha mendekati atau menghindari akibat atau hasil tertentu melalui
tindakan-tindakan, keadaan-keadaan, atau sifat-sifat mereka sendiri dengan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menjadi atau tidak menjadi sesuatu. Ada
tiga isu utama terkait control diri atau regulasi diri yang telah lama diuji
dalam berbagai literature psikologi, yaitu kenapa control diri terjadi,
bagaimana ia terjadi, dan apa yang terjadi setelah control diri berhasil atau
gagal dilakukan ?
Kenapa kontrol diri terjadi ?
Menurut Higgins, sejak Yunani kuno
sampai abad ke-20, jawaban dominan terhadap pertanyaan kenapa control diri
terjadi adalah karena seseorang mengatur atau mengontrol dirinya dalam rangka
mendapatkan kenikmatan dan menghindarkan penderitaan atau sering juga disebut
dengan prinsip hedonism. Jawaban mendasar diatas ditujukan untuk menjawab
pertanyaan : “kenapa seseorang melakukan control atau regulasi diri” tampak
pada semua bidang psikologi termasuk teori emosi dalam bidang psikobiologi,
pengkondisian dalam bidang psikologi kognitif dan organisasi, konsistensi dalam
bidang psikologi sosial dan motivasi berprestasi dalam bidang psikologi
kepribadian (Higgins, 2000:218-220)
Perebedaan antara alasan-alasan
intrinsic dan ekstrinsik untuk regulasi diri memberikan jawaban lain terhadap
pertanyaan : kenapa regulasi diri terjadi ? Perbedaan tersebut menyoroti fakta
bahwa alasan seseorang mendekati atau terlibat dalam kegiatan tertentu juga
bermasalah. Seseorang dapat terlibat dalam suatu kegiatan karena ia menjadikannya
sebagai suatu tujuan (motivasi intrinsik) seperti saat seseorang memainkan
sesuatu untuk mempelajari bagaimana sesuatu itu bekerja, atau seseorang dapat
terlibat dalam kegiatan tertentu karena ia menjadikannya sebagai alat untuk
mencapai suatu tujuan (motivasi ekstrinsik) seperti saat seseorang melaksanakan
suatu kegiatan tertentu hanya untuk menyenangkan temannya yang telah memintanya
untuk melakukan hal tersebut (Higgins, 2000 : 218-220)
Bagaimana
Kontrol diri Terjadi?
Pertanyaan
ini merupakan pertanyaan utama yang muncul di kalangan para psikolog karena
sekedar mengetahui bahwa seseorang mendekati kenikmatan dan menjauhi
penderitaan adalah tidak cukup untuk menjawab kompleksitas kontrol diri pada
manusia. Ada 3 jawaban umum yang menjawab pertaan tersebut, yaitu:
a)
Antisipasi Teratur
Freud (1920/1950) menggambarkan kontrol
diri atau regulasi diri sebagai hedonisme masa depan dimana perilaku dan
aktivitas fisik lainnya didorong oleh antisipasi-antisipasi terhadap kenikmatan
agar dapat didekati atau disebut juga dengan hasrat serta
antisipasi-antisipasi terhadap penderitaan agar dapat dihindari atau disebut
juga dengan ketakutan. Mowrer (1960) menyebutkan bahwa sifat dasar kontrol
diri adalah mendekati situasi-situasi tujuan yang diharapkan dan menghindari
situasi-situasi tujuan yang ditakuti. Dalam pandangan teori motivasi
berprestasi dari Atkinson (1964) dibedakan antara kecenderungan individu untuk
mendekati kesuksesan dan kecenderungan menghindari ketakutan akan kegagalan.
b)
Referensi Teratur
Akibat yang menyenangkan atau akibat
yang tidak menyenangkan sesungguhnya dapat diantisipasi dan dalam hal ini,
gerakan pengaturan diri dapat mengandung situasi-situasi tujuan yang diinginkan
atau yang tidak diinginkan sebagai titik rujukannya. Sebagai contoh,
mengantisipasi akibat yang menyenangkan dapat mencakup gerakan mendekati dalam
merujuk situasi-situasi tujuan yang tidak diinginkan.
c)
Alat Strategis Untuk
Meraih Akibat
Terdapat beberapa
strategi berbeda yang dapat digunakan untuk meraih hasil tertentu. Untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya meraih nilai A dalam suatu mata
kuliah, seseorang dapat menggunakan strategi mendekati seperti menggunakan
semua cara untuk menjadi maju atau strategi menjauhi seperti menghindari semua
kesalahan secara hati-hati.
Motivasi
Sosial Sebagai Sumber Kontrol diri
Salah
satu bentuk motivasi yang sering menjadi faktor penggerak bagi semua orang dalam mencapai tujuan dan kondisi yang
diinginkan adalah motivasi sosial, yaitu suatu kekuatan pengaruh yang
berasal dari kehadiraan orang lain, baik yang bersifat nyata maupun tidak
nyata, atau kekuatan pengaruh yang berasal dari pengertian seseoranng mengenai
diri sebagai suatu objek sosial. Motivasi sosial dapat dimanifestasikan di
dalam kognisi, emosi atau perilaku, baik yang mendorong kita menuju kondisi
yang diinginkan (tujuan) atau menghambat kita dari kondisi yang tidak
diinginkan (ancaman). Tiap individu berbedadalam hal kecenderungan mereka untuk
termotivasi dalam mendekati tujuan yang diinginkan versus dalam menghindari
konsekuensi negatif (Borgida et.al, 2000: 350-351).
Dua tema umum yang relevan dengan
semua teori motivasi sosial adalah: Pertama, diskusi tentang motivasi
sosial akan mengarahkan rangsangan fisiologis karena rangsangan berkaitan erat dengan motivasi. Semakin
sering seseorang yang termotivasi mencapai suatu kondisi akhir maka semakin
banyak munculnya sistem syaraf otonom yang dialami seseorang. Intensitas
motivasi dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang, hasil potensial suatu perilaku
dan harapan seseorang bahwa suatu perilaku akan memuaskan kebutuhan dan
mencapai hasil. Intensitas motivasi yang lebih tinggi tidak selalu menjadi
lebih baik, walaupun demikian, penelitian menunjukkan bahwa tingkat motivasi
yang sedang (pertengahan) biasanya menghasilkan kinerja yang terbaik. Kedua,
teori motivasi sosial menguji bagaimana orang lain dapat bertindak sebagai
inspirasi yang mengarahkan pikiran dan perilaku (Borgida et.al, 2000: 350-351).
Beberapa paradigma motivasi sosial
mengarahkan bagaimana kehadiran orang lain, baik yang bersifat aktual,
imajinasi maupun kesan akan menimbulkan rangsangan yang memberdayakan dan
mengarahkan pikiran dan perilaku berikutnya. Diantara paradigma tersebut adalah
paradigma motivasi intrinsik dan ekstrinsik, paradigma orang lain sebagai
target perilaku bermotivasi, paradigma representasi mental tentang diri,
paradigma penentu tujuan dan perspektif manajemen kesan (Borgida et.al, 2000:
350-351).
Motivasi
Intrinsik dan Ekstrinsik
Salah
satu paradigma yang paling berpengaruh
tentang motivasi adalah dalam hal sumber motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi
Intrinsik mengarahkan perilaku yang dipilih secara bebas dan mungkin
diawali dengan rasa ingin tahu, minat, kebutuhan untuk melakukan petualangan
atau kebutuhan akan rangsangan. Motivasi intrinsik tidak selalu bersifat nyata,
imajinasi atau kesan maka motivasi tersebut dapat dianggap sebagai motivasi
sosial (Borgida et.al, 2000: 350-351).
Sebaliknya, motivasi ekstrinsik
meruakan ganjaran atau ancaman eksternal. Perilaku yang dimotivasi secara
ekstrinsik diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan eksternal, seperti
uang atau promosi jabatan. Orang lain dapat menjadi sumber motivasi ekstrinsik
jika orang tersebut diharapkan memberikan ganjaran atau hukuman. Kebutuhan akan
ganjaran ekstrinsik tidak bersifat materil atau langsung, walaupun
demikian, izin sosial sebagai contooh
dapat menjadi suatu sumber motivasi sosial yang kuat (Borgida et.al, 2000:
350-351).
Suatu
aktivitas yang sesekali memberikan ganjaran intrinsik yang kuat seperti
kepuasan personal dan self-esteem (harga diri) dapat menjadi motivasi
ekstrinsik jika aktivitas tersebut diberi ganjaran eksternal. Contoh, membayar
seorang anak yang cinta membaca sebanyak Rp. 20.000,- untuk setiap buku yang
selesai dibaca akan mengubah diversi bermotivasi intrinsik menjadi
aktivitasbermomtivasi ekstrinsik (Borgida et.al, 2000: 350-351).
Orang
Lain Sebagai Target Perilaku Bermotivasi
Tipe
motivasi sosial yang paling fundamental sebagaimana yang diidentifikasi oleh
Baumeister and Leary (1995) adalah kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan dasar
untuk diakui dan untuk mempertahankan kelekatan sosial. Untuk memenuhi
kebutuhan akan rasa aman dan keterikatan
emosional , kita mencoba menciptakan dan mempertahankan afiliasi dengan orang
lain. Kadang-kadang orang lain dapat menjadi target motivasi prososial kita.
Contoh, kita bisa saja bertindak altruistik dengan membantu masyarakat kita
secara sukarela. Walaupun demikian, orang lain bisa saja menjadi target
perilaku negatif atau agresif kita. Penyebabnya bisa macam-macam: tingkat
hormon tertentu, frustasi atau penyebab efektif lainnya seperti stressor
lingkungan atau faktor neorologis (Borgida et.al, 2000: 350-351).
Representasi
Mental Tentang Diri
Kehadiran orang lain, baik yang
bersifat nyata atau imajinasi, dapat membuat kita mengalihkan perhatian ke
dalam guna mengevaluasi tujuan atau standar kita. Contoh, berpikir
tentangstandar orang lain dapat mengaktifkan apa yang disebut dengan istilah “ought
self” (diri yang seharusnya atau diri ideal) yaitu gambaran mental tentang
apa yang penting yang seharusnya dipikirkan orang lain. Jika diri saat ini
berhubungan dengan diri ideal, perasaan bersalah dan kecemasan dapat muncul,
terutama akan mendorong perilaku untuk berusaha mengurangi diskrepansi
(kesenjangan) tersebut.
Memori tentang perilaku dan status
masa lalu kita, termasuk konstruksi perilaku dan status masa depan kita dapat
juga menjadi sumber motivasi. Kami merumuskan apa yang disebut dengan “diri
mungkin” yang didasarkan atas pengumpulan kembali keadaan kita di masa lalu dan
bagaimana keadaan kita di masa yang akan datang. Mengingat kembali
keuntungan-keuntungan yang berasal dari suatu wacana tindakan tertentu dapat
mendorong kita untutk mengatur ulang kumpulan perilaku tersebut. Alternatifnya,
membayangkan diri atau keadaan masa depan yang ingin kita raih dapat
menyemangati kita untuk membuat tujuan. Ketika status seseorang saat ini tidak
sesuai dengan standar internal maka emosi negatif bisa muncul. Jika seseorang
merasa memiliki efikasi dalam menghadapi diskrepansi (kesenjangan antara
keadaan sekarang dengan standar internal) tersebut maka bagaimanapun penentuan
tujuan dan pengembangan suatu rencana tindakan dapat mengurangi diskrepansi
yang mungkin terjadi. Dengan demikian, representasi internal tentang diri yang
diilhami oleh diri kita atau orang lain membantu kita memberdayakan
rangkaian-rangkaian tindakakn untuk meraih kondisi yang diinginkan.
Penentu
Tujuan
Tujuan
berfungsi sebagai kekuatan yang memotivasi. Jika kita telah memilih suatu
tujuan tertentu (Tahap Deliberatif) maka kita akan memfokuskan pikiran pada
wacana tindakan yang perlu dilakukan untuk meraih tujuan tersebut (Tahap
Implementasi). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa proses membentuk rencana
dan tujuan perilaku merupakan pemberdayaan diri. Dalam kenyataan, menentukan
tujuan yang spesifik dapat meningkatkan kinerja. Menjadi termotivasi pada arah
tertentu tidak serta-merta bermakna bahwa kita akan bertindak untuk mencapai
tujuan tersebut. Kadang-kadang, intensitas motivasi tidak cukup untuk
mengaktualkan perilaku yang efektif, tetapi diperlukan hal-hal laain.
Tujuan
tidak perlu disadari untuk dianggap
menghasilkan, sebab ketika komitmen dengan suatu tujuanmaka suatu kondisi
internal yang bersifat laten yang biasa diistilahkan dengan sebutann “current
concern” (perhatian saat ini) akan terbentuk. Current concern sangat
peka terhadap isyarat-isyarat yang relevan dengan tujuan yang ada di lingkungan.
Ketika suatu isyarat muncul maka respon emosional akan segera aktif. Jika
respon emosional ini melalui tahap tertentu maka kita menjadi sadar terhadap
emosi tersebut, kita berpikir tentang isyarat dan tujuan tersebut, lalu kita
bisa saja berinisiatif untuk berbuat yang berkaitan dengan tujuan kita.
BERIKUTNYA KONSEP DIRI
BERIKUTNYA KONSEP DIRI
No comments:
Post a Comment