Friday, 1 July 2016

Psikologi Sosial : Harga Diri atau self-esteem

self esteem
sumber : psyche-care.com


Self-esteem atau Harga diri
            Dari beberapa buku didapat beberapa definisi self-esteem yang dirumuskan para ahli, di antaranya sebagai berikut :
            Santrock (1995) mendefinisikan self-esteem atau harga diri adalah
dimensi evaluative global dari diri. Harga diri juga diacu sebagai nilai diri atau citra diri. Seseorang individu dapat merasa bahwa ia tidak hanya sebagai seorang manusia tetapi juga sebagai seorang manusia yang berharga.
            Frey dan Carlock (1984) mengungkapkan mengenai self-esteem :
Self-esteem adalah suatu pengevaluasian, mengacu pada hal negative, hal positif, hal netral, penilaian ambigu yang mana self-esteem merupakan bagian dari self-concept.”
            Sedangkan Johnson dan Swindley (1999) secara singkat menjelaskan bahwa :
Self-esteem adalah perasaan berharga mengenai diri sendiri; nilai yang ada di dalam diri.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Minchinton (1993),
Self-esteem adalah nilai yang ada pada diri kita. Self-esteem merupakan penilaian dari keberhargaan diri sebagai manusia, bersadarkan pada setuju atau tidak setuju dari diri kita dan perilaku kita.”
Terlihat bahwa secara umum konsep self-esteem berkaitan erat dengan unsur penilaian. Berne dan Sarvary (1988) menambahkan lebih lanjut bahwa harga diri merupakan suatu penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri, bisa menimbulkan perasaan percaya diri tetapi juga bisa menyebabkan perasaan rendah diri.
Goble (1987), menjelaskan bahwa harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan.
Konsep self-esteem seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya oleh Frey dan Carlock berkaitan juga dengan Konsep Diri. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1980), self-esteem merupakan salah satu komponen Konsep Diri, tepatnya komponen sikap individu terhadap dirinya sendiri. Jadi self-esteem merupakan bagian dari Konsep Diri seseorang.
Misalnya, dua orang mungkin sama-sama memiliki Konsep Diri bahwa wajahnya berjerawat dan bertubuh gendut. Namun yang satu dapat menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa saja, sementara yang satunya lagi merasa tidak senang dengan keadaannya tersebut. Hal ini jelas menunjukkan bahwa adanya penilaian yang berbeda-beda pada setiap individu wapaupun perbedaannya relative sama. Perasaan berharga atau tidak berharga, suka atau tidak suka yang ditimbulkan dari penilaian itulah yang disebut self-esteem. Coopersmith (1967) dalam Gilmore (1974) mengemukakan bahwa :
“By self-esteem we refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself; it expresses an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to be capable, significant, successful, and worthy. In short, self-esteem is a personal judgment of worthiness that is expressed in the attitudes the individual hold toward himself. It is subjective experience which the individual conveys to others by verbal reports and other overt expressive behavior.”
Dari uraian di atas terlihat bahwa self-esteem mengindikasi pada diri individu menilai seberapa jauh ia meyakini bahwa dirinya merupakan pengalaman subjektif yang disampaikan kepada orang lain dalam bentuk kata-kata maupun perilaku ekspresif lainnya.
Untuk menerangkan self-esteem seseorang, menurut Branden (2001), harga diri merupakan perpaduan antara kepercayaan diri (self-confidence) dan penghormatan diri (self-respect). Harga diri menggambarkan keputusan seseorang secars implicit atas kemampuannnya dalam mengatasi tantangan-tantangan kehidupan dan hak-haknya untuk menikmati kebahagiaan.
Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri serta lebih mampu, maka ia juga lebih produktif. Harga diri yang stabil, karenanya juga yang paling sehat, tumbuh dari penghargaan yang wajar dari orang-orang lain, bukan karena nama, kemahsyuran, serta sanjungan kosong (Goble,1987). Branden (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara harga diri yang sehat dengan karakter orang lain yang secara langsung mendukung pencapaian dan kebahagiaan seseorang. Harga diri yang sehat juga berhubungan dengan rasionalitas, realistis, intuitif, kreatif, mandiri, fleksibel, kemampuan untuk mengelola perubahan, keinginan untuk mengakui kesalahan, kebaikan, dan sikap kooperatif. Sedangkan harga diri yang tidak sehat berhubungan dengan ketidakrasionalan, tidak realistis, keras kepala, takut terhadap sesuatu yang baru, memberontak, mengeluh, berlebihan, atau memusuhi orang lain.
Self-esteem ditinjau dari kondisinya dibedakan dalam dua kondisi, yaitu strong (kuat) dan weak (lemah). Orang yang mempunyai self-esteem yang kuat akan mampu membina relasi yang baik dan sehat dengan orang lain, bersikap sopan dan menjadikan dirinya menjadi orang yang berhasil. Ciri-ciri orang yang memiliki self-esteem yang kuat adalah:
1.      Self Confidence (percaya diri)
Menghadapi segala sesuatu dengan penuh percaya diri dan tidak mudah putus asa.
2.      Goal Oriented (mengacu hasil akhir)
Ketika ingin melaksanakan sesuatu selalu memikirkan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mencapai tujuannya itu dengan memikirkan segala konsekuensi yang diperkirakan akan muncul serta memikirkan alternatif lainnya untuk mencapai tujuan tersebut.
3.      Appreciate (menghargai)
Merasa cukup dan selalu bisa menghargai yang ada disekelilingnya serta dapat membagi kesenangannya dengan orang lain.
4.      Contented (puas/senang)
Bisa menerima dirinya apa adanya dengan segala kelemahan dan kelebihannya serta mempunyai toleransi yang tinggi atas kelemahan orang lain dana  mau belajar dari orang lain.
Sebaliknya individu yang memiliki self-esteem yang lemah memiliki citra diri negative dan Konsep Diri yang buruk. Semuanya akan menjadi penghalang kemampuannya sendiri dalam membentuk satu hubungan antar individu agar nyaman dan baik untuk dirinya. Bahkan seringkali menghukum dirinya sendiri atas ketidakmampuannya dan terlarut dalam penyesalan. Sikap yang tidak tegas dalam melakukan berbagai tindakan akibat adanya rasa takut membuat orang lain tersinggung, merasa diperintah atau digurui yang membuat diri menjadi benci dan merasa dikucilkan.
Adapun cirri-ciri orang yang memiliki self-esteem yang lemah, adalah:
1.      Critical (selalu mencela), yaitu biasanya selalu mencela orang lain, banyak keinginannya dan seringkali tidak terpenuhi, senang memperbesar masalah-masalah kecil dan seringkali tidak mau mengakui kekurangannya.
2.      Self centered (mementingkan diri sendiri), yaitu biasanya egois, tidak peduli dengan kebutuhan orang lain atau perasaan orang lain, segala sesuatunya berpusat pada dirinya sendiri, tidak ada tenggang rasa dengan lainnya yang akhirnya berakibat bisa menjadi frustasi. Perilaku ini akan menjauhkan dirinya dan orang-orang disekelilingnya.
3.      Cynical (sinis/suka mengolok-olok), yaitu senang meledek orang lain dengan omongan yang sinis, sering menyalahartikan pemikiran, kegiatan, kebaikan seta niat baik orang lain sehingga orang lain juga tidak senang kepadanya.

4.      Diffident  (malu-malu), yaitu menyangkal atas semua kelemahannya, tidak pernah bisa membuktikan kelebihannya dan seringkali gagal dalam melakukan sesuatu. Hal-hal serta kesalahan kecil seringkali diperhitungkan terlalu serius dan dilihat sebagai bukti ketidakmampuan dirinya. Walaupun memiliki bakat dan kemampuan seperti orang lain, tapi gagal untuk bisa memperlihatkan tanggung jawabnya dan juga gagal dalam memanfaatkan kelebihannya karena sudah membayangkan kegagalan yang ada dihadapannya.

Aspek-aspek dalam Self-esteem
            Minchinton (1993) dalam bukunya yang berjudul Maximun Self-esteem menguraikan tiga aspek dari self-esteem, yaitu :
1.      Perasaan tentang diri sendiri
Seorang individu menerima apapun yang ada pada dirinya, merasa nyaman dengan dirinya, apapun keadaannya. Self-esteem yang tinggi digambarkan dengan penerimaan diri oleh individu tersebut dan mengapresiasikan nilai-nilai sebagai manusia seutuhnya. Self-esteem yang rendah terbentuk dari keyakinannya bahwa dirinya memiliki keberhargaan diri yang kecil, sehingga membuat individu tersebut takut untuk mencoba suatu hal.
2.      Perasaan tentang kehidupan
Self-esteem tinggi dinyatakan dengan menerima tanggung jawab dan memiliki perasan untuk mengontrol setiap bagian dari kehidupan. Seseorang tidak menyalahkan dirinya sendiri atas semua permasalahan. Individu tersebut membuat harapan yang realistis dan tujuan yang dapat diraih. Self-esteem yang rendah terwujud dari kehidupan dan apa yang ada didalamnya sering diluar kendali. Seseorang dengan self-esteem yang rendah selalu merasa tidak berdaya dan lemah.
3.      Hubungan dengan orang lain
Individu dengan self-esteem tinggi memiliki toleransi dan menghormati setiap orang. Tidak memaksa menanamkan keyakinan-keyakinan atau nilai-nilai yang ia miliki pada orang lain karena ia tidak membutuhkan penerimaan dari orang lain untuk membuatnya merasa berguna. Self-esteem rendah mencerminkan kekurangan kehormatan yang mendasar untuk orang lain. Tidak bertoleransi kepada orang lain dan yakin orang lain akan mengikuti kemauannya.

Branden (2007), menggunakan istilah 6 pilar Self-esteem dalam menjelaskan aspek-aspek dari self-esteem. Enam pilar tersebut, yaitu :
1.      Menjalani hidup penuh kesadaran.
Secara sadar dan peka terhadap segala sesuatu yang menjadi bagian dari tingkah laku, tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan sasaran hidup sebaik mungkin apapun dengan kemampuan yang dimiliki oleh kita sesuai dengan apa yang kita lihat dan ketahui.
2.      Penerimaan Diri.
Penolakan terhadap hubungan yang tidak menguntungkan bagi diri individu, yaitu dengan menerima, berprihatin dengan tidak mendorong perilaku yang tidak diinginkan tetapi mengurangi terjadinya pengulangan.
3.      Bertanggung jawab terhadap diri sendiri
Bertanggung awab agar tercapainya keinginan, pilihan-pilihan , perbuatan, tingkah laku , kebahagiaan diri, menerima pilihan nilai-nilai yang dianut seseorang, dan meningkatkan rasa percaya diri.
4.      Bertindak tegas.
Kesedian untuk tegas terhadap prinsip diri sendiri, menadi diri sendiri secara terbuka, dan membawa diri dengan penuh menghargai terhadap hubungan antar manusia.
5.      Menjalani hidup penuh makna atau tujuan.
Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk pencapaian sasaran hidup yang sudah dipilih; sasaran belajar, menghidupi keluarga, bekerja, memulai usaha baru, menyelesaikan masalah, menjaga hubungan keharmonisasian.
6.      Integritas personal.
Integritas dari harapan-harapan kita sendiri, kepercayaan, kualitas hidup, keyakinan, dan perilaku.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-esteem
            Pernyataan Coopersmith dalam Goble (1987) memberikan penjelasan bahwa self-esteem berkaitan juga dengan harapan-harapan seseorang. Sejumlah orang memiliki harapan yang terlalu tinggi dibandingkan dengan kemampuan nyata mereka, dan walaupun penampilan mereka itu baik di mata orang-orang lain, namun kurang memuaskan di mata mereka sendiri. Tidak terlalu mengherankan bahwa individu yang memiliki self-esteem tinggi biasanya berasal dari orang tua yang juga memiliki self-esteem tinggi, namun menurutnya juga hubungan ini tidak bisa terlalu dipastikan.
            Menurut Brecht (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem adalah sebagai berikut :
1.      Orang Tua
Orang tua adalah sumber yang sangat mempengaruhi kualitas self-esteem anak-anaknya. Dengan maksud-maksud yang baik, banyak orang tua yang penuh perhatian dan kasih sayang sebenarnya justru merusak self-esteem anak-anak mereka tanpa mereka sadari.
Menurut Coopersmith dalam Goble (1987), keluarga-keluarga mandiri mengungkapkan perbedaan-perbedaan pendapat ataupun ketidaksetujuan secara terbuka cenderung memiliki keyakinan-keyakinan yang teguh, tetapi juga mampu dan tegas dalam memimpin . Mereka tidak akan pernah menoleransikan perlakuan-perlakuan yang sembrono atau tidak sopan.
2.      Tingkah Laku Sosial
Dengan siapa seorang individu bergaul dapat sangat mempengaruhi self-esteem. Self-esteem dapat ditingkatkan melalui kelompok, teman-teman, yang menerima diri kita apa adanya (Brecht, 2000).
3.      Budaya
Myers (1999) menggarisbawahi ada peran budaya dalam pembentukan pandangan individu terhadap dirinya. Budaya kolektivisme, dalam hal ini di Indonesia di mana budaya menangis hanya dimiliki oleh kaun perempuan dibandingkan kaum laki-laki sangat mempengaruhi pandangan seseorang tentang dirinya.
4.      Prestasi
Jika seseorang individu telah mengembangkan suatu pola tertentu untuk berprestasi dalam sejumlah bidang, maka ia cenderung akan percaya bahwa dirinya mampu, bisa, dan akan merasa senang dengan dirinya. Kemampuan untuk menetapkan tujuan yang realistis dan penghargaan terhadap diri sendiri apa setiap langkah pencapaiannya juga merupakan pendorong meningkatnya self-esteem.
5.      Diri Sendiri
Sumber paling penting yang mempengaruhi self-esteem adalah diri sendiri. Seorang individu dapat meningkatkan atau menurunkan harga dirinya kapanpun ia inginkan (Brecht, 2000). Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Branden (2001), jika harga diri merupakan penilaian bahwa, suatu pikiran yang meyakini dirinya sendiri, maka tidak seorang pun yang dapat membangkitkan pengalaman seperti ini kecuali diriku sendiri.

SEBELUMNYA KONSEP DIRI

No comments:

Post a Comment