Friday 1 July 2016

Psikologi Sosial : Self-Efficacy dan Locus Of Control

self efficacy

Self-efficacy
            Albert Bandura (1997) mengenalkan suatu konsep yang disebut dengan self-efficacy atau kemanjuran diri. Konsep ini sesungguhnya merupakan versi ilmuan tentang hikmah dibalik
kekuatan berpikir positif. Keyakinan yang optimistic terhadap kemampuan diri kita akan memberikan banyak keuntungan. Orang yang memiliki perasaan self-efficacy yang kuat adalah orang yang lebih tangguh, tidak gampang cemas dan depresi, hidup lebih sehat, lebih focus kepada hidup, dan lebih sukses secara akademis (Myers, 2001:50-51).
            Self-efficacy (kemanjuran diri) adalah kepercayaan orang-orang terhadap kemampuan mereka untuk melakukan cara-cara tertentu yang memungkinkan mereka mengontrol semua peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka. Keyakinan effikasi merupakan dasar tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah pergaulan sosial (Bandura, 2000:212-213) :
            Pertama, melalui mastery experiences. Cara inilah yang paling efektif dalam membangun self-efficacy yang baik. Hal ini dapat dijelaskan karena kesuksesan dapat membangun kepercayaan terhadap kemanjuran nya. Jika seseorang meraih kesuksesan dengan cara yang mudah maka dia akan mudah terpukul karena kegagalan . Mengembangkan rasa tabah terhadap kemampuan diri memerlukan pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan melalui usaha yang tekun.
            Kedua, menciptakan dan memperkuat kepercayaan terhadap kemanjuran personal dapat dilakukan melalui social modeling (peniruan sosial). Jika seseorang melihat orang lain seperti dirinya bisa meraih kesuksesan melalui usaha yang berkesinambungan untuk meraih kesuksesan seperti orang tersebut. Sebaliknya, bila yang diamati adalah kegagalan orang lain, hal ini dapat menanamkan keraguan terhadap kemampuannya untuk menguasai aktivitas yang sama. Model yang kompeten dapat pula membangun effikasi (kemanjuran) dengan menyampaikan pengetahun dan keahlian untuk mengatur tuntutan lingkungan.
            Ketiga, persuasi atau bujukan sosial. Jika seseorang dibujuk bahwa ia memiliki semua potensi dan kemampuan untuk meraih kesuksesan maka mereka ia akan mengerahkan usaha yang lebih banyak ketika menghadapi suatu masalah. Para ahli persuasi sosial yang efektif melakukan lebih banyak hal ketimbang sakadar menyuntikkan keyakinan kepada seseorang seseorangtentang kemampuannya.
            Keempat, orang-orang bersandar pada kondisi fisik dan emosi dalam memutuskan kemampuan mereka. Mereka membaca tekanan, kecemasan, dan depresi sebagai tanda ketidakmampuan personal. Dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan dan stamina, mereka menafsirkan kejenuhan dan penderitaan sebagai indicator kemanjuran fisik yang lemah.
            Persepsi tentang adekuasi dan self-efficacy seseorang dapat menguatkan diri atau menghancurkan diri. Pola-pola konsekuensi dari self-efficacy, baik yang positif maupun negative terdiri dari atribusi penyebab, ketidakberdayaan dan penguasaan.

            Model motivasi umum mengandaikan bahwa kepercayaan self-efficacy yang positif akan mengarah kepada pilihan untuk terlibat dalam berbagai tugas yang menantang (misalnya, meneruskan dalam mengambil mata kuliah statistic lanjutan ketika hal itu tidak dipersyaratkan), kualitas atau tingkat keterlibatan dalam tugas tertentu (berusaha sungguh-sungguh, tingkat usaha yang tinggi) dan bertahan melaksanakan tugas walaupun harus berhadapan dengan banyak kesulitan. Penelitian yang menghubungkan self-efficacy dengan pembelajaran menyatakan bahwa hal itu bukan sekadar kualitas keterlibatan atau usaha dalam tugas, tetapi juga kualitas keterlibatan dalam sifat pemrosesan kognitif yang mengarah kepada kinerja dan prestasi (Pintrich, 2000:23)
Locus of Control
            Locus of Control merupakan konstruk yang sangat tua dalam bidang penelitian psikologi kepribadian dan sosial selama tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Konstruk ini bersumber pada teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Julian Rotters. Menurut Rotter, Locus of Control adalah perasaan seseorang bahwa apa yang terjadi pada dirinya dikendalikan oleh kekuatan eksternal dari satu jenis atau jenis lain, sementara orang lain merasa bahwa apa yang terjadi padanya secara garis besar dikendalikan oleh usaha dan keahliannya sendiri (Myers, 2001: 51-52) . Jika sesorang mempercayai bahwa ia mengontrol tujuannya sendiri maka kondisi tersebut disebut lokus control internal . Sebaliknya, jika seseorang meyakini bahwa nasib, tujuan keberhasilannya ditentukan oleh kesempatan dan kekuatan di luar dirinya maka kondisi itu disebut lokus control eksternal.
            Julian Rotters berpendapat bahwa perilaku dapat diramalkan dari nilai yang dianut seseorang dan mendapatkan penguatan, harapannya tentang dampak perilaku tertentu terhadap munculnya penguatan tersebut dan sifat dari situasi yang ada. Misalnya, para mahasiswa yang sedang mempelajari perilaku dapat diramalkan dari pengetahuan tentang nilai yang mereka tempatkan atas kesuksesan kuliah, harapan mereka bahwa belajar meningkatkan kemungkinan untuk sukses dan respon dosen terhadap usaha-usaha mereka tersebut (Lecfourt, 2000: 68).
            Dalam teori belajar sosial , lokus control merupakan suatu harapan umum yang menyangkut persepsi terhadap hubungan sebab akibat antara perilaku dan pengalaman yang menguatkan. Lokus control sama dengan suatu kepercayaan atau suatu sikap yang dianut seseorang mengenai efektivitas perilakunya untuk meraih hasil yang diinginkan. Kaum fatalis yang percaya bahwa mereka dapat melakukan sedikit hal untuk mengubah sifat pengalaman mereka dianggap sebagai orang-orang yang memiliki lokus control eksternal . Sebaliknya, jika ada orang-orang tertentu yang percaya bahwa apa yang dialami mencerminkan usaha, karakteristik personal , dan usaha mereka sendiri maka disebut sebagai orang-orang yang telah mengembangkan lokus control internal. Mereka beranggapaan bahwa apa yang mereka raih saat ini adalah hasil jerih payah dan tindakan mereka sendiri (Lecfourt, 2000:68).

Belajar Ketidakberdayaan
            Dimensi lain dari persepsi control diri juga dikemukakan oleh Martin Seligman (1991) yaitu helplessness learning (belajar ketidakberdayaan). Menurutnya, orang-orang yang mengalami depresi atau penindasan , sebagai contoh , berubah menjadi pribadi yang pasif karena mereka percaya bahwa usaha mereka tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap diri mereka untuk keluar dari masalah yang dihadapi. Belajar ketidakberdayaan dan penarikan diri yang dipelajari ketika seseorang atau hewan mempersepsi tidak ada control dirinya terhadap berbagai peristiwa buruk yang menimpanya. 

SEBELUMNYA HARGA DIRI ATAU SELF-ESTEEM

No comments:

Post a Comment