Friday 1 July 2016

Psikologi Sosial : Kontrol Diri

self control


Kontrol diri
            Banyak dari pikiran yang mengandung motivasi-motivasi tertentu. Tujuan seseorang secara parsial menentukan bagaimana mereka
mencari dan mengukur informasi yang diperoleh dari berbagai sumber. Tema rekognisi semacam ini menghasilkan suatu bidang ilmu psikologi  yang terintegrasi mengenai motivasi dan kognisi sosial. Sejak paruh pertama dari abad ke-20, para psikolog menjelaskan motivasi dengan merujuk kepada kebutuhan fisiologis, instings, atau dorongan. Pada masa sekarang ini, sebagian besar peneliti menjelaskan motivasi manusia dengan merujuk pada proses berpikir manusia. Refleksi seseorang tentang tindakannya di masa lalu, prospek masa depannya, dan kualitas personal mempengaruhi perbedaan individual dan koherensi intraindividual dalam melakukan tindakan yang bermotivasi (Caprara, 2000:339).
            Grazino (1997) menyatakan bahwa Konsep Diri dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Orang-orang yang membayangkan diri mereka sebagai pekerja keras dan pribadi sukses akan menjaga kinerjanya melampaui kinerja orang yang membayangkan dirinya sebagai orang yang gagal. Dengan melihat kemungkinan-kemungkinan positif pada diri kita maka kita lebih mungkin untuk merencanakan dan melaksanakan suatu strategi untuk meraih kesuksesan. Itulah masalah-masalah yang berkaitan dengan presepsi control diri, yaitu masalah motivasi di dalam hidup dan kehidupan ini.

            Motivasi merupakan kekuatan pendorong yang mengarahkan manusia menuju kondisi akhir yang diinginkan. Akar dari kata “motivasi” adalah bergerak. Gerakan tersebut berkaitan dengan gerakan mendekati atau menjauhi akibat tertentu dengan melakukan hal-hal tertentu. Kontrol diri atau sering disebut juga dengan regulasi diri terjadi ketika seseorang berusaha mendekati atau menghindari akibat atau hasil tertentu melalui tindakan-tindakan, keadaan-keadaan, atau sifat-sifat mereka sendiri dengan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menjadi atau tidak menjadi sesuatu. Ada tiga isu utama terkait control diri atau regulasi diri yang telah lama diuji dalam berbagai literature psikologi, yaitu kenapa control diri terjadi, bagaimana ia terjadi, dan apa yang terjadi setelah control diri berhasil atau gagal dilakukan ?

Kenapa kontrol diri terjadi ?
            Menurut Higgins, sejak Yunani kuno sampai abad ke-20, jawaban dominan terhadap pertanyaan kenapa control diri terjadi adalah karena seseorang mengatur atau mengontrol dirinya dalam rangka mendapatkan kenikmatan dan menghindarkan penderitaan atau sering juga disebut dengan prinsip hedonism. Jawaban mendasar diatas ditujukan untuk menjawab pertanyaan : “kenapa seseorang melakukan control atau regulasi diri” tampak pada semua bidang psikologi termasuk teori emosi dalam bidang psikobiologi, pengkondisian dalam bidang psikologi kognitif dan organisasi, konsistensi dalam bidang psikologi sosial dan motivasi berprestasi dalam bidang psikologi kepribadian (Higgins, 2000:218-220)
            Perebedaan antara alasan-alasan intrinsic dan ekstrinsik untuk regulasi diri memberikan jawaban lain terhadap pertanyaan : kenapa regulasi diri terjadi ? Perbedaan tersebut menyoroti fakta bahwa alasan seseorang mendekati atau terlibat dalam kegiatan tertentu juga bermasalah. Seseorang dapat terlibat dalam suatu kegiatan karena ia menjadikannya sebagai suatu tujuan (motivasi intrinsik) seperti saat seseorang memainkan sesuatu untuk mempelajari bagaimana sesuatu itu bekerja, atau seseorang dapat terlibat dalam kegiatan tertentu karena ia menjadikannya sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan (motivasi ekstrinsik) seperti saat seseorang melaksanakan suatu kegiatan tertentu hanya untuk menyenangkan temannya yang telah memintanya untuk melakukan hal tersebut (Higgins, 2000 : 218-220)

Bagaimana Kontrol diri Terjadi?
            Pertanyaan ini merupakan pertanyaan utama yang muncul di kalangan para psikolog karena sekedar mengetahui bahwa seseorang mendekati kenikmatan dan menjauhi penderitaan adalah tidak cukup untuk menjawab kompleksitas kontrol diri pada manusia. Ada 3 jawaban umum yang menjawab pertaan tersebut, yaitu:
a)      Antisipasi Teratur
Freud (1920/1950) menggambarkan kontrol diri atau regulasi diri sebagai hedonisme masa depan dimana perilaku dan aktivitas fisik lainnya didorong oleh antisipasi-antisipasi terhadap kenikmatan agar dapat didekati atau disebut juga dengan hasrat serta antisipasi-antisipasi terhadap penderitaan agar dapat dihindari atau disebut juga dengan ketakutan. Mowrer (1960) menyebutkan bahwa sifat dasar kontrol diri adalah mendekati situasi-situasi tujuan yang diharapkan dan menghindari situasi-situasi tujuan yang ditakuti. Dalam pandangan teori motivasi berprestasi dari Atkinson (1964) dibedakan antara kecenderungan individu untuk mendekati kesuksesan dan kecenderungan menghindari ketakutan akan kegagalan.
b)      Referensi Teratur
Akibat yang menyenangkan atau akibat yang tidak menyenangkan sesungguhnya dapat diantisipasi dan dalam hal ini, gerakan pengaturan diri dapat mengandung situasi-situasi tujuan yang diinginkan atau yang tidak diinginkan sebagai titik rujukannya. Sebagai contoh, mengantisipasi akibat yang menyenangkan dapat mencakup gerakan mendekati dalam merujuk situasi-situasi tujuan yang tidak diinginkan.
c)      Alat Strategis Untuk Meraih Akibat
Terdapat beberapa strategi berbeda yang dapat digunakan untuk meraih hasil tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya meraih nilai A dalam suatu mata kuliah, seseorang dapat menggunakan strategi mendekati seperti menggunakan semua cara untuk menjadi maju atau strategi menjauhi seperti menghindari semua kesalahan secara hati-hati.

Motivasi Sosial Sebagai Sumber Kontrol diri
            Salah satu bentuk motivasi yang sering menjadi faktor penggerak bagi semua  orang dalam mencapai tujuan dan kondisi yang diinginkan adalah motivasi sosial, yaitu suatu kekuatan pengaruh yang berasal dari kehadiraan orang lain, baik yang bersifat nyata maupun tidak nyata, atau kekuatan pengaruh yang berasal dari pengertian seseoranng mengenai diri sebagai suatu objek sosial. Motivasi sosial dapat dimanifestasikan di dalam kognisi, emosi atau perilaku, baik yang mendorong kita menuju kondisi yang diinginkan (tujuan) atau menghambat kita dari kondisi yang tidak diinginkan (ancaman). Tiap individu berbedadalam hal kecenderungan mereka untuk termotivasi dalam mendekati tujuan yang diinginkan versus dalam menghindari konsekuensi negatif (Borgida et.al, 2000: 350-351).
            Dua tema umum yang relevan dengan semua teori motivasi sosial adalah: Pertama, diskusi tentang motivasi sosial akan mengarahkan rangsangan fisiologis karena rangsangan  berkaitan erat dengan motivasi. Semakin sering seseorang yang termotivasi mencapai suatu kondisi akhir maka semakin banyak munculnya sistem syaraf otonom yang dialami seseorang. Intensitas motivasi dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang, hasil potensial suatu perilaku dan harapan seseorang bahwa suatu perilaku akan memuaskan kebutuhan dan mencapai hasil. Intensitas motivasi yang lebih tinggi tidak selalu menjadi lebih baik, walaupun demikian, penelitian menunjukkan bahwa tingkat motivasi yang sedang (pertengahan) biasanya menghasilkan kinerja yang terbaik. Kedua, teori motivasi sosial menguji bagaimana orang lain dapat bertindak sebagai inspirasi yang mengarahkan pikiran dan perilaku (Borgida et.al, 2000: 350-351).
            Beberapa paradigma motivasi sosial mengarahkan bagaimana kehadiran orang lain, baik yang bersifat aktual, imajinasi maupun kesan akan menimbulkan rangsangan yang memberdayakan dan mengarahkan pikiran dan perilaku berikutnya. Diantara paradigma tersebut adalah paradigma motivasi intrinsik dan ekstrinsik, paradigma orang lain sebagai target perilaku bermotivasi, paradigma representasi mental tentang diri, paradigma penentu tujuan dan perspektif manajemen kesan (Borgida et.al, 2000: 350-351).

Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik
            Salah satu paradigma yang  paling berpengaruh tentang motivasi adalah dalam hal sumber motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi Intrinsik mengarahkan perilaku yang dipilih secara bebas dan mungkin diawali dengan rasa ingin tahu, minat, kebutuhan untuk melakukan petualangan atau kebutuhan akan rangsangan. Motivasi intrinsik tidak selalu bersifat nyata, imajinasi atau kesan maka motivasi tersebut dapat dianggap sebagai motivasi sosial (Borgida et.al, 2000: 350-351).
            Sebaliknya, motivasi ekstrinsik meruakan ganjaran atau ancaman eksternal. Perilaku yang dimotivasi secara ekstrinsik diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan eksternal, seperti uang atau promosi jabatan. Orang lain dapat menjadi sumber motivasi ekstrinsik jika orang tersebut diharapkan memberikan ganjaran atau hukuman. Kebutuhan akan ganjaran ekstrinsik tidak bersifat materil atau langsung, walaupun demikian,  izin sosial sebagai contooh dapat menjadi suatu sumber motivasi sosial yang kuat (Borgida et.al, 2000: 350-351).
            Suatu aktivitas yang sesekali memberikan ganjaran intrinsik yang kuat seperti kepuasan personal dan self-esteem (harga diri) dapat menjadi motivasi ekstrinsik jika aktivitas tersebut diberi ganjaran eksternal. Contoh, membayar seorang anak yang cinta membaca sebanyak Rp. 20.000,- untuk setiap buku yang selesai dibaca akan mengubah diversi bermotivasi intrinsik menjadi aktivitasbermomtivasi ekstrinsik (Borgida et.al, 2000: 350-351).

Orang Lain Sebagai Target Perilaku Bermotivasi
            Tipe motivasi sosial yang paling fundamental sebagaimana yang diidentifikasi oleh Baumeister and Leary (1995) adalah kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan dasar untuk diakui dan untuk mempertahankan kelekatan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan  akan rasa aman dan keterikatan emosional , kita mencoba menciptakan dan mempertahankan afiliasi dengan orang lain. Kadang-kadang orang lain dapat menjadi target motivasi prososial kita. Contoh, kita bisa saja bertindak altruistik dengan membantu masyarakat kita secara sukarela. Walaupun demikian, orang lain bisa saja menjadi target perilaku negatif atau agresif kita. Penyebabnya bisa macam-macam: tingkat hormon tertentu, frustasi atau penyebab efektif lainnya seperti stressor lingkungan atau faktor neorologis (Borgida et.al, 2000: 350-351).

Representasi Mental Tentang Diri
            Kehadiran orang lain, baik yang bersifat nyata atau imajinasi, dapat membuat kita mengalihkan perhatian ke dalam guna mengevaluasi tujuan atau standar kita. Contoh, berpikir tentangstandar orang lain dapat mengaktifkan apa yang disebut dengan istilah “ought self” (diri yang seharusnya atau diri ideal) yaitu gambaran mental tentang apa yang penting yang seharusnya dipikirkan orang lain. Jika diri saat ini berhubungan dengan diri ideal, perasaan bersalah dan kecemasan dapat muncul, terutama akan mendorong perilaku untuk berusaha mengurangi diskrepansi (kesenjangan) tersebut.
            Memori tentang perilaku dan status masa lalu kita, termasuk konstruksi perilaku dan status masa depan kita dapat juga menjadi sumber motivasi. Kami merumuskan apa yang disebut dengan “diri mungkin” yang didasarkan atas pengumpulan kembali keadaan kita di masa lalu dan bagaimana keadaan kita di masa yang akan datang. Mengingat kembali keuntungan-keuntungan yang berasal dari suatu wacana tindakan tertentu dapat mendorong kita untutk mengatur ulang kumpulan perilaku tersebut. Alternatifnya, membayangkan diri atau keadaan masa depan yang ingin kita raih dapat menyemangati kita untuk membuat tujuan. Ketika status seseorang saat ini tidak sesuai dengan standar internal maka emosi negatif bisa muncul. Jika seseorang merasa memiliki efikasi dalam menghadapi diskrepansi (kesenjangan antara keadaan sekarang dengan standar internal) tersebut maka bagaimanapun penentuan tujuan dan pengembangan suatu rencana tindakan dapat mengurangi diskrepansi yang mungkin terjadi. Dengan demikian, representasi internal tentang diri yang diilhami oleh diri kita atau orang lain membantu kita memberdayakan rangkaian-rangkaian tindakakn untuk meraih kondisi yang diinginkan.

Penentu Tujuan
            Tujuan berfungsi sebagai kekuatan yang memotivasi. Jika kita telah memilih suatu tujuan tertentu (Tahap Deliberatif) maka kita akan memfokuskan pikiran pada wacana tindakan yang perlu dilakukan untuk meraih tujuan tersebut (Tahap Implementasi). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa proses membentuk rencana dan tujuan perilaku merupakan pemberdayaan diri. Dalam kenyataan, menentukan tujuan yang spesifik dapat meningkatkan kinerja. Menjadi termotivasi pada arah tertentu tidak serta-merta bermakna bahwa kita akan bertindak untuk mencapai tujuan tersebut. Kadang-kadang, intensitas motivasi tidak cukup untuk mengaktualkan perilaku yang efektif, tetapi diperlukan hal-hal laain.
            Tujuan tidak  perlu disadari untuk dianggap menghasilkan, sebab ketika komitmen dengan suatu tujuanmaka suatu kondisi internal yang bersifat laten yang biasa diistilahkan dengan sebutann “current concern” (perhatian saat ini) akan terbentuk. Current concern sangat peka terhadap isyarat-isyarat yang relevan dengan tujuan yang ada di lingkungan. Ketika suatu isyarat muncul maka respon emosional akan segera aktif. Jika respon emosional ini melalui tahap tertentu maka kita menjadi sadar terhadap emosi tersebut, kita berpikir tentang isyarat dan tujuan tersebut, lalu kita bisa saja berinisiatif untuk berbuat yang berkaitan dengan tujuan kita.

BERIKUTNYA KONSEP DIRI

No comments:

Post a Comment