Tuesday 28 June 2016

Psikologi Sosial : Altruisme dan Perilaku Prososial

I.                   Definisi Altruisme dan Perilaku Prososial
Altruism (Altruisme) adalah tindakan sukarela untuk membantu

altruisme

orang lain tanpa pamrih, atau ingin sekadar beramal baik (Schroeder, Penner, Dovidio, & Piliavin, 1995). Berdasarkan definisi ini, apakah suatu tindakan bisa dikatakan altruistic akan bergantung pada niat si penolong. Orang asing yang mempertaruhkan dia pergi begitu saja tanpa pamit adalah orang yang benar-benar melakukan altruistic. Dalam buku Robert A. Baron dan Donn Byrne yang berjudul Psikologi Sosial, menyatakan bahwa istilah altruism kadang-kadang dugunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruism yang sejati adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain.
Prosocial behavior (perilaku prososial) adalah kategori yang lebih luas (Batson, 1998). Ia mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu. Banyak tindakan prososial bukan tindakan altruistic. Misalnya, jika anda menjadi relawan untuk kerja amal guna menarik perhatian teman anda atau untuk menambah pengalaman guna mencari kerja, maka anda tidak bertindak altruistic dalam pengertian istilah itu. Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruism tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi.
Perilaku prososial dipengaruhi oleh tipe relasi antar-orang. Entah itu karena suka, merasa berkewajiban, memiliki pamrih, atau empati, kita biasanya lebih sering membantu orang yang kita kenal ketimbang orang yang yang tidak kita kenal. Meski demikian, memberi pertolongan kepada orang asing bukanlah hal yang jarang terjadi. Banyak studi telah mendokumentasikan kesediaan orang untuk membantu orang asing yang membutuhkan pertolongan.
II.                Perspektif Teoritis tentang Tindakan Menolong
A.    Perspektif Evolusi
Ilmuwan telah lama mengamati perilaku social dikalangan spesies binatang. Charles Darwin (1871) mencatat bahwa kelinci mengeluarkan suara ribut untuk memperingatkan kelinci lain akan adanya predator. Beberapa jenis babon memiliki pola khas dalam merespons ancaman. Jantan dominan mengambil sikap melindungi kelompoknya dan bahkan menyerang pengancam. Saat kelompoknya sudah menjauh dari ancaman, si jantan ini mempertaruhkan keselamatannya dengan tetap melindungi kelompok. Eksistensi perilaku altruistic di kalangan binatang menimbulkan persoalan bagi teori evolusi: jika anggots mengorbankan diri demi anggota lainnya, mereka kecil kemungkinan akan tetap bertahan dan mewariskan gen mereka kepada keturunannya. Lalu bagaimana predisposisi biologis untuk bertinfak altruistic bisa bertahan dikalangan hewan dan manusia?
Menurut psikologi evolusioner, setiap cirri yang ditentukan oleh gen yang memiliki nilai survival yang tinggi (yang membantu individu untuk bertahan) cenderung diwariskan kepada keturunanannya. Tendensi untuk membantu yang lain mungkin memiliki nilai survival yang tinggi bagi gen individual, tetapi tidak selalu untuk individual itu. Bayangkan seekor burung yang mengasuh enam anak. Separuh dari gen di setiap anaknya berasal dari induknya. Secara bersama, keenam anak itu punya gen tiga kali lebih banyak ketimbang induknya. Jika si induk mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan anak-anaknya, gen khususnya sudah direplikasi. Analisis serupa dapat dikenakan pada kerabat lain yang memiliki presentase tertentu dari gen individual. Membantu kerabat berarti membantu kelangsungan hidup gen individual untuk generasi selanjutnya dan karenanya ini dapat dipahami berdasarkan prinsip biologi evolusi.
Ahli sosiobiologi Robert Trivers (1971) menekankan kemungkinan adanya basis biologis dari altruism mutual ata resiprokal. Menurutnya, biaya/risiko potensial bagi individual dalam memberi pertolongan kepada pihak lain akan diimbangi oleh kemngkinan untuk mendapatkan pertolongan dari pihak lain. Akan tetapi, system saling tolong-menolong ini terancam oleh “penipu” potensial yang menerima pertolongan namun tak mau memberi pertolongan. Untuk meminimalkan penipuan ini, melalui seleksi alam, muncul rasa bersalah dan tendnsi untuk saling membantu melalui cara-cara social seperti hukuman atas orang yang tidak mengikuti aturan kelompok.
Pendekatan evolusi melahirkan beberapa prediksi. Misalnya, hewan akan sangat membantu hewan lain yang memiliki keterkaitan genetic dengannya. Mereka akan segera membantu kerabat dekat ketimbang kerebat jauh atau asing (Burnstein,  Crandall, & Kitayama, 1994). Teori ini juga memprediksikan bahwa orang tua atau induk akan lebih altruistic kepada keturunan yang sehat ketimbang yang tak sehat.  Studi-studi terhadap manusia mendukung prediksi ini, meskipun evolusi bukan satu-satunya interpretasi untuk temuan studi itu (Dovidio et al., 1991; Wbster, 2003).
Prediksi lain menyebutkan bahwa ibu biasanya akan lebih banyak membantu anaknya ketimbang ayahnya. Alasannya adalah di banyak spesies, pria punya potensi biologis untuk menjadi ayah dari banyak keturunan dan karenanya dapat meneruskan gennya tanpa terlalu banyak berinvestasi di satu bayi saja. Wanita hanya dapat melahirkan relative sedikit keturunan dan karenanya harus membantu keturunannya untuk berjuang hidup guna meneruskan gennya.
Pendapat bahwa tindakan membantu pihak lain secara genetic adalah bagian dari “sifat manusia” merupakan penndapat yang masih controversial (Batson, 1998). Belum jelas bagaimana teori ini manunjukkan kemungkinan bahwa pemeliharaan diri tidak selalu merupakan motif utama. Disposisi biologis ke arah sikap mementingkan diri dan agresi mungkin berdampingan dengan disposisi biologis ke arah sikap membantu dan merawat orang lain (Bell, 2001; Kottler, 2000).
B.     Perspektif Sosiokultural
Kritik terhadap perspektis evolusi menyatakan bahwa factor-faktor social adalah lebih penting ketimbang factor biologi dalam menentukan perilaku prososial dikalangan manusia. Donald Campbell (1975) mengatakan bahwa evolusi genetik mungkinmembantu menjelaskan beberapa perilaku prososial dasar seperti pengsuhan orang tua, namun ia tidak berlaku untuk contoh ekstrem seperti aksi membantu orang asing yang sedang kesulitan. Karena perilaku prososial umumnya bermanfaatnya bagi masyarakat, maka ia menjadi bagian dari aturan atau norma social.
·         Kemiripan Kultural: Norma Dasar Tanggung Jawab, Resiprositas, dan keadilan.
Ada tiga norma social dasar yang lazim dalam masyarakat manusia. Pertama, norm of social rensposibility (norma tanggung jawab social) menyatakan bahwa kita harus membantu orang lain yang bergantung kepada kita. Orang tua diharuskan merawat anak-anaknya dan agen social mungkin campur tang jika irang tua tidak menjalankan kewajibannya itu. Guru diharuskan membantu siswanya; pelatih harus memerhatikan timnya; dan sesama karyawan diharapkan saling membantu. Aturan moral dan kegamaan di banyak masyarakat juga menekankan tugas untuk membantu orang lain. Terkadang kewajiban ini dijadikan undang-undang atau hukum.
Kedua, norm of reciprocity (norma resiprositas) menyatakan bahwa kita harus membantu orang lain yang pernah membantu kita. Beberapa studi menunjukkan bahwa orang lebih cenderung membantu orang lain yang pernah membantu mereka. Dalam sebuah studi, sepasang mahasiswa bekerja secara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan suatu tugas penilaian (Regan, 1968).
Ketiga, kelompok manusia juga mengembangkan norm of social justice (norma keadilan social), aturan tentang keadilan dan distribusi sumber daya secara merata. Salah satu prinsip keadilan adalah ekuitas (kesetaraan). Menurut prinsip ini, dua orang yang memberi kontribusi yang sama harus mendapatkan imbalan yang sama. Jika satu orang menerima lebih banyak daripada yang satunya, maka keduanya akan merasa tekanan untuk memulihkan kesetaraan dengan meredistribusikan imbalan itu.
Banyak studi (misalnya Walster, Walster, & Berscheid, 1978) menunjukkan bahwa orang yang diuntungkan berusaha memulihkan kesetaraan jika mereka bisa. Dalam beberapa eksperimen, subjek riset memainkan game di mana satu orang , meski bukan kesalahannya, kehilangan uang sedangkan partnernya memenangkan banyak uang (Berscheid & Walster, 1967). Pada akhir permainan, pemenang (subjek riil) diberi kesempatan untuk memberikan sebagiian kemenangannya kepada partner yang kalah ada tendensi kuat untuk memberi sejumlah uang kepada yang kalah, meskipun pemenangnya meraih kemangan secara sah. Sebaliknya, dalam kondisi dimana kedua partner sama-sama menang, hanya ada sedikit kecenderungan untuk berbagi hadiah.

Norma-norma itu tanggung jawab social, resiprositas, dan keadilan social memberikan basis cultural untuk perilaku prososial. Melalui proses sosialisasi, individu mempelajari aturan ini dan berperilaku sesuai dengan pedoman perilaku prososial. Riset menunjukkan bahwa orang cenderung membantu saudara dan kawannya ketimbang orang asing. Ini dapat dijelaskan dalam term norma social: kita merasakan tanggung jawab yang lebih besar atas orang yang dekat dengan kita, dan kita berasumsi bahwa mereka akan membantu kita jika kita membutuhkan (Dovidio et al., 1991).

No comments:

Post a Comment