Thursday 16 June 2016

Psikologi Pendidikan : Faktor Yang Mempengaruhi Belajar (2)

KONDISI PSIKOLOGIS
            Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Itu berarti belajar bukanlah berdiri sendiri, terlepas dari faktor lain seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor psikologis sebagai dari dalam tentu saja

belajar
sumber : kabarinews.com

merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar seorang anak. Meski faktor luar mendukung, tetapi faktor psikolgis tidak mendukung, maka faktor luar itu tidak akan signifikan. Oleh karena itu, minat, kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan-kemampuan kognitif adalah faktor-faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik. Demi jelasnya, kelima faktor ini akan diuraikan satu demi satu berikut ini.
·         Minat
Minat menurut Slameto  (1991: 182), adalan suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.
Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa anak didik lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Anak didik memiliki minat terhadap subjek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subjek tersebut. Slameto, (1991:182). Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk mencapai atau memperoleh benda atau tujuan yang diminati itu. Timbulnya keinginan belajar dibesabkan berbagi hal, antara lain: karena keinginan yang kuat untuk menaikkan martabat atau memperoleh pekerjaan yang baik, serta ingin hidup senang dan bahagia. Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat yang kurang akan menghasilakan prestasi yang rendah (Dalyono, (1997: 56).
Dalam konteks itulah diyakini bahwa minat mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik. Tidak banyak yang dapat diharapkan untuk menghasilkan prestasi belajar yang baik dari seorang anak yang tidak berminat untuk mempelajari sesuatu. Persoalan sekarang adalah bagaimana menimbulkan minat anak didik terhadap sesuatu? Memahami kebutuhan anak didik dan melayani kebutuhan anak didik adalah salah satu upaya membangkitkan minat anak didik. Dalam penentuan jurusan harus disesuaikan dengan minat anak didik. Jangan dipaksakan agar anak didik tunduk pada kemauan guru untuk memilih jurusan lain yang sebenarnya anak didik tidak berminat. Dipaksakan juga pasti akan sangat merugikan anak didik. Anak didik cenderung malas untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak disukainya. Anak didik pasrah pada nasib dengan nilai apa adanya (Nasution, 1993: 7).
Disamping memanfaatkan minat yang telah ada, Tanner &  Tanner (1957) (dalam Slameto, (1991: 183) menyarankan agar para pengajar juga berusaha membentuk minat-minat baru pada diri anak didik. Ini dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi pada anak didik mengenai hubungan antar suatu bahan pelajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang lalu, Rooijakkers (1980) berpendapat hal ini dapat pula dicapai dnegan cara menghubungkan bahan pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah diketahui kebanyakan anak didik. Anak didik, misalnya akan menaruh perhatian pada pelajaran tentang gaya berat bila hal itu dikaitkan dengan peristiwa mendaratnya peristiwa mendaratnya manusia pertama di bulan.
Bila usaha-usaha di atas tidak berhasil, guru dapat memakai insentif dalam usaha mencapai tujuan pengajaran. Insentif merupakan alat yang dipakai untuk seseorang agar melakukan sesuatu yang tidak mau melakukannya atau yang tidak dilakukannya dengan baik. Diharapkan pemberian intensif akan membangkitkan motivasi anak didik dan mungkin minat terhadap bahan yang diajarkan akan muncul.
Crow & Crow  (1984:355) berpendapat bahwa lamanya minat bervariasi. Kemampuan dan kemauan menyelesaikan suatu tugas yang diberikan untuk selama waktu yang ditentukan berbeda-beda baik dari segi umur maupun bagi masing-masoing individu. Untuk anak yang sangat muda, lamanya minat dalam kegiatan tertentu sangat pendek. Minat senantiasa berpindah-pindah; namun demikian ia menghendaki keaktifan. Ia kerap kali mendasarkan kegiatan-kegiatannya atas pilihan sendiri dan dapat lebih suka mengusahakan sesuatu tertentu  daripada yang lainnya. Karena minat yang terdapat dalam kegiatan untuk kepentingan diri sendiri lebih daripada untuk mencapai suatu hasil tertentu, sehingga ia mudah dikacaukan dan mudah tertarik pada kegiatan yang lain. Tidak demikian halnya terhadap orang yang lebih tua. Mereka yang disenutkan terakhir ini lebih lama dapat mempertahankan minatnya terhadap sesuatu daripada berpindah-pindah kepada hal lainnya.
·         Kecerdasan
Raden Cahaya Prabu (1986) pernah mengatakan dalam mottonya bahwa: “Didiklah anak sesuai taraf umurnya. Pendidikan yang berhasil karena menyelami jiwa anak didiknya.” Yang menarik dari ungkapan ini adalah tentang umur dan menyelami jiwa anak didik. Kedua persoalan ini tampaknya tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin pertumbuhan umur seseorang dari usia muda, lalu tua tidak diikuti oleh perkembangan jiwanya. Sedangkan para ahli telah sepakat bahwa semakin meningkat umur sesorang semakin dewasa pula cara pikirnya. Dan hal ini lebih mengukuhkan pendapat yang mengatakan bahwa kecerdasan dan umur mempunyai hubungan yang sangat erat. Perkembangan berpikir seseorang dari yang kongkret ke yang abstrak tidak bisa dipisahkan dari perkembangan intelegensinya. Semakinmeningkat umur seseorang semakin abstrak cara berpikirnya.
Perkembangan taraf intelegensi sangat pesat pada masa umur balita dan mulai menetap pada akhir masa remaja. Taraf intelegensi tidak mengalami penurunan, yang menurun hanya penerapannya saja terutama setelah berumur 65 tahun ke atas bagi mereka yang alat inderanya mengalami kerusakan.
Karena intelegensi diakui ikut menentukan keberhasilan belajar seseorang, maka orang tersebut seperti M Dalyono (1997: 56) misalnya secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang memiliki intelegensi baik (IQ tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya, orang yang intelegensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah.
Terdapat hubungan yang erat antara IQ dengan hasil belajar di sekolah. Dijelaskan dari IQ, sekitar 25% hasil belajar di sekolah dapat dijelaskan dar IQ, yaitu kecerdasan sebagaimana diukur oleh tes intelegensi. Karena itu, berdasarkan informasi mengenai IQ 90-100 pada umumnya akan mampu menyelesaikan sekolah dasar tanpa banyak kesukaran, sedang anak-anak yang mempunyai IQ 70-89 pada umumnya akan memerlukan bantuan-bantuan khusus untuk dapat menyelesaikan sekolah dasar. Pada sisi lain, pemuda-pemudi yang mempunyai IQ di atas 120 pada umumnya akan mempunyai kemampuan untuk belajar di perguruan tinggi.
Pendapat Noehi Nasution di atas dipertegas Raden Cahaya Prabu (1986: 45) yang mengatakan bahwa anak-anak yang taraf intelegensinya di bawah rata-rata, yaitu dull normal, debil, embicil, dan idiot sukar untuk sukses dalam sekolah. Mereka tidak akan mencapai pendidikan tinggi karena kemampuan potensinya terbatas. Sedangkan anak-anak yang taraf intelegensinya normal, di atas rata-rata seperti superior, gifted atau genius, jika saja lingkungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan pendidikannya turut menunjang, maka mereka akan dapat mencapai presatasi dan keberhasilan dalam hidupnya. Anak gifted diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu: pertama, extreemely gifted child (genius) dengan taraf intelegensi 160-200. Kedua, superior child yang mempunyai taraf intelegensi antara 125-160.
Seperti ditulis oleh Anwar Prabu Mangkunegara (1993: 43), Gertrude Hildreth dalam penelitiannya menyimpulkan, anak-anak yang IQnya antara 135-145 menunjukkan sikap periang, ramah, dan umumnya sering menjadi pemimpin dari teman-teman sebaya. Sedangkan anak-anak gifted dengan IQ 175 banyak yang mengalami kesulitan dalam bergaul dan kurang dapat memanfaatkan kemampuannya sehingga sering kurang dihargai kawan-kawan sebayanya. Begitu pula kesimpulan penelitian Lete S. Hollingworth yang menyatakan bahwa anak-anak gifted yang taraf intelegensinya lebih dari 180 mempunyai kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Akhirnya pembahasan ini bermuara pada suatu kesimpulan, bahwa kecerdasan merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang memperngaruhi keberhasilan sesorang dalam belajar di sekolah.
·         Bakat
Di samping intelegensi (kecerdasan) , bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Akan tetapi, banyak sekali hal-hal yang menghalangi untuk terciptanya kondisi yang sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam lingkup perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan tinggi tempat seseorang belajar menjanjikan studi yang benar-benar sesuai dengan bakat orang tersebut. Kemungkinan penghambat yang lain adalah biaya. Suatu lapangan studi yang sesuai dengan bakat seseorang mungkin terlalu mahal bagi orang tersebut. Dan penghambat terbesar di Indonesia adalah belum adanya alat pengukur atau test bakat yang benar-benar dapat diandalkan. Memang dewasa ini telah banyak dilakukan usaha-usaha untuk mengembangkan tes bakat itu, namun kiranya masih diperlukan waktu agak lama untuk tersusunnya tes bakat yang benar-benar dapat siandalkan dan dipergunakan (Noehi Nasution, 1993: 8).
Banyak sebenarnya bakat bawaan (terpendam) yang dapat ditumbuhkan asalkan diberikan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Disini tentu saja diperlukan pemahaman terhadap terhadap bakat apa yang dimiliki oleh seseorang. Bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman dan dorongan atau motivasi agar bakat itu tidak dapat terwujud. Misalnya, seseorang mempunyai bakat menggambar, jika ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan, maka bakat tersebut tidak akan tampak. Jika orang tuanya menyadari bahwa ia mempunya bakat menggambar dan mengusahakan agar ia mendapatkan pengalaman yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan bakatnya, dan anak itu juga menunjukkan minat yang besar untuk mengikuti pendidikan menggambar, maka ia akan dapat mencapai prestasi yang unggul dan bahkan dapat menjadi pelukis terkenal.
·         Motivasi
Menurut Noehi Nasution (1993: 8) motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika motivasi untuk belajar bertambah. Hal ini dipandang masuk akal, karena seperti dikemukakan oleh Ngalin Purwanto (1995: 61) bahwa banyak bakat anak tidak berkembang karena tidak diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapatkan motivasi yang tepat, maka lepaslah tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai hasil-hasil yang semula tidak terduga. Bahkan menurut Slameto (1991: 136) seringkali anak didik yang tergolong cerdas tampak bodoh karena tidak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi sebaik mungkin. Berbagai faktor bisa saja membuatnya bersikap apatis. Misalnya, karena keadaan lingkungan yang mengancam, perasaan takut diasingkan oleh kelompok bila anak didik berhasil atau karena kebutuhan untuk berprestasi pada diri anak didik sendiri kurang atau mungkin tidak ada. Ada tidaknya motivasi untuk berprestasi pada diri anak didik cukup mempengaruhi kemampuan intelektual anak didik agar dapat berfungsi secara optimal.
Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut memperngaruhi keberhasilan belajar. Karena itu, motivasi belajar perlu diusahakan, terutama yang berasal dari salam diri (motivasi intrinsik) dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus dihadapi untuk mencapai cita-cita. Senantiasa memasang tekad bulat dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai dengan belajar. (M. Dalyono, 1997: 57)
Mengingat motivasi merupakan motor penggerak dalam perbuatan, maka bila ada anak didik yang kurang memiliki motivasi ekstrinsik, agar anak didik termotivasi untuk belajar. Di sini diperlukan pemanfaatan bentuk-bentuk motivasi secara akurat dan bijaksana. Penjabaran dan pembahasan lebih mendalam tentang bentuk-bentuk motivasi dalam belajar ini dapat dibaca kembali pada uraian terdahulu tentang "motivasi belajar".
·         Kemampuan Kognitif
Dalam dunia pendidikan ada tiga tujuan pendidikan yang sangat dikenal dan diakui oleh para ahli pendidikan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif merupakan kemampuan yang selalu dituntut kepada anak didik untuk dikuasai. Karena penguasaan kemampuan pada tingkatan ini menjadi dasar bagi penguasaan ilmu pengetahuan.
Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan untuk sampai pada penguasaan kemampuan kognitif, yaitu persepsi, mengingat, dan berpikir. Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pencium. (Slameto, 1991;104). Dalam pengajaran guru harus menanamkan pengertian dengan cara menjelaskan materi pelajaran sejelas-jelasnya, bukan bertele-tele kepada anak didik, sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi anak didik. Kemungkinan kecilnya kesalahan persepsi anak bila penjelasan yang diberikan itu mendekati objek yang sebenarnya. Semakin dekat penjelasan guru dengan realitas kehidupan semakin mudah anak didik menerima dan mencerna materi pelajaran yang disajikan. Seorang anak yang telah memiliki kemampuan persepsi ini berarti telah mampu menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakilo objel-objel yang dihadapi, entah objek itu orang, benda, atau kejadian/peristiwa. Objek-objek itu direpresentasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental. Gagasan dan tanggapan itu dituangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya atau dalam bentuk tulisan maupun orasi ilmiah. Karena kemampuan kognitif ini, orang dapat menghadirkan realitas dunia di dalam dirinya sendiri, dari hal-hal yang bersifat material dan berperaga seperti ide "keadilan, kejujuran", dan lain sebagainya. Jelaslah kiranya, bahwa semakin banyak pikiran dan gagasan dimiliki seseorang, semakin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif orang itu. Kemampuan kognitif ini harus dikembangkan melalui belajar. Selain itu terdapat faktor psikologis tamabahan yang mempengaruhi belajar diantaranya adalah.
  • Sikap siswa
Sikap aadalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecendrungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap siswa yang positif, terutama kepada anda dan mata pelajaran yang anda sajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap anda dan mata pelajaran anda, apalagi jika diiringi kebencian kepada anda atau kepada mata pelajaran anda dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Selain itu, sikap terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat conserving walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun prestasi yang dicapai siswa akan kurang memuaskan.
Untuk mengantisipasikemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti tersebut diatas, guru dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi haknya. Dalam hal bersikap positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang demikian tidak hanya menguasai bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga mampu meyakinkan para siswa akan bermanfaat bidang studi itu bagi kehidupan mereka. Dengan meyakini manfaat bidang studi tertentu, siswa akan merasa membutuhkannya, dan dari perasaan butuh itulah diharapkan muncul sikap positif terhadap bidang studi tersebut sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya.
·         Sifat-sifat Pribadi Seseorang
Disamping faktor-faktor yang telah dibicarakan di atas, faktor pribadi seseorang turut pula memegang peranan dalam belajar. Tiap-tiap orang mempunyai sifat-sifat kepribadiannya masing-masing yang berbeda antara seseorang dengan yang lain. Ada orang yang mempunyai sifat keras hati, berkemauan keras, tekun dalam segala usahanya, halus perasaannya, dan ada pula yang sebaliknya. Sifat-sifat kepribadian yang ada pada seseorang itu sedikit-bnyaknya turut pula mempengaruhi sampai dimanakah hasil belajarnya dapat dicapai. Termasuk ke dalam sifat-sifat kepribadian ini ialah faktor fisik kesehatan dan kondisi badan.
Kecuali faktor-faktor pribadi yang bersifat individual, berhasil atau tidaknya belajar itu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor dari luar yang kita sebut faktor sosial.
·         Kapasitas Mental

Dalam tahap perkembangan tertentu, individu mempunyai kapasitas-kapasitas mental yang berkembang akibat dari pertumbuhan dan perkembangan fungsi fisiologis pada sistem saraf dan jaringan otak. Kapasitas-kapasitas seseorang dapat diukur dengan tes-tes inteligensi dan tes-tes bakat. Kapasitas adalah potensi untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai keterampilan/kecakapan. Akibat dari hereditas dan lingkungan, berkembanglah kapasitas mental individu yang berupa inteligensi. Karena latar belakang hereditas dan lingkungan masing-masing individu berbeda, maka inteligensi masing-masing individu pun bervariasi. Inteligensi seseorang ikut menentukan prestasi belajar seseorang.

No comments:

Post a Comment