Tuesday 21 June 2016

Psikologi Pendidikan: Identifikasi Anak Berbakat

Identifikasi Anak Berbakat

Pengertian kontemporer tentang  keberbakatan memang telah  demikian berkembang dan  kriterianya sudah lebih multidimensional daripada sekedar intelegensi (umum, atau “g faktor” menurut Spearman) seperti yang  pernah digunakan oleh Terman. IQ  hanya salah satu kriteria keberbakatan
.
anak berbakat

 Dengan perluasan  kriteria ini, persoalan identifikasi  anak-anak berbakat menjadi lebih  rumit dan harus menggunakan  beragam teknik dan alat ukur,  Idealnya semua kriteria tersebut  harus dideteksi dengan  menggunakan teknik dan prosedur,  karena menurut berbagai studi tidak  semua dari faktor-faktor itu  berkorelasi satu sama lain. Misalnya  IQ dan kreativitas. Keberbakatan itu bersifat  multidimensional, kriterianya tidak hanya intelligensi, melainkan kreativitas, kepemimpinan, komitmen pada tugas, prestasi akademik, motivasi dan lain-lain.

Alat yang dapat dipergunakan dalam melakukan identifikasi anak berbakat diantaranya adalah :
1.      Kemampuan intelektual umum; “Pengukuran kemampuan intelektual umum diperoleh melalui pengukuran kekuatan otot, kecakapan gerak, sensitivitas terhadap rasa sakit, kecermatan dalam pendengaran dan penglihatan, perbedaan dalam ingatan dan lain-lain yang semua disebut “tes mental”.
2.      Tes inteligensi umum; Salah satu perkembangan yang amat penting dalam pengmbangan pengukuran intelegensi adalah timbulnya skala Wechsler dalam mengukur inteligensi orang dewasa dengan menggunakan norma tes bagi perhitungan IQ yang menyimpang.
3.      Tes kelompok kontra tes individual; Tes kelompok lebih banyak digunakan dalam system pendidikan, pelayanan pegawai, industri dan militer. Tes kelompok dirancang untuk sekelompok tertentu, biasanya tes kelompok menyediakan lembar jawaban dan “kunci- kunci” tes. Bentuk tes kelompok berbeda dari tes individual dalam menyusun item dan kebanyakan menggunakan item pilihan ganda.
4.      Pengukuran hasil belajar; Tes ini mengukur hasil belajar setelah mengikuti proses pendidikan. Tes hasil belajar ini berbeda dengan tes bakat, tes inteligensi, tes hasil belajar pada umumnya merupakan evaluasi terminal untuk menentukan kedudukan individu setelah menyelesaikan suatu latihan atau pendidikan tertentu. Penekanannya terutama pada apa yang dapat dilakukan individu saat itu setelah mendapatkan pendidikan tertentu.
Tes hasil belajar individual; Pada umumnya tes hasil belajar adalah tes kelompok yang bermaksud membandingkan kemajuan belajar antar individu sebaya, namun disini hanya hasil belajar individual saja.


Pengidentifikasian seorang siswa sebagai anak berbakat (AB) dan bukan anak berbakat (Non-AB) bukanlah untuk memenuhi hasrat orang tua memiliki anak dengan label trtentu. Hal inilah yang diingatkan oleh Miller (1981) dalam bukunya Prisoners of Chilhood bahwa ada kecenderungan dari oang tua anak berbakat yang menggunakan keberbakatan anaknya untuk memenuhi hasrat narsistik mereka.

            Identifikasi anak berbakat bukan pula bertujuan sebagaimana dugaan kebanyakan orang untuk melakukan kategorisasi kemampuan anak berbakat. Colangelo dan Davis (1991) menggarisbawahi bahwa jika tujuan menemukan anak berbakat dengan dua alasan tersebut, program pendidikan yang dibuat seharusnya tidak perlu ada.

            Brandwein (1980) menyebutkan identifikasi merupakan suatu proses ketika kita berupaya untuk menyadari bahwa siswa dengan kemampuan, motivasi, dan kapabilitas kreatif yang melampuo rata-rata anak sebayanya membutuhkan pelayanan pendidikan berdiferensiasi untuk memenuhi kemajuan pendidikannya secara optimal. Jadi, dengan memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan hak dan karakteristik personalnya, berarti membantu mereka untuk mencapai tingkatan yang dapat mereka capai setinggi mungkin
.
            Bagi Colangelo dan Davis (1991). Identifikasi seharusnya memenuhi kebutuhan untuk menempatkan siswa dalam program pendidikan yang didesain untuk potensi talent mereka. Demikian pula yang disampaikan Hoover dan Feldhusen (1987), satu-satunya tujuan identifikasi adalah mengarahkan proses pendidikan dan memberikan pelayanan.

            Namun, banyak pakar melihat bahwa proses identifikasi yang dilakukan di kebanyakan sekolah telah out of the right, khususnya jika identifikasi menjadi akhir dari proses itu sendiri. Hal ini terjadi karena pelayanan pendidikan bagi AB di sekolah-sekolah sangat terbatas atau malah nonexistent.
            Kekeliruan juga terjadi karena para guru, para administrator, an sering kali para orang tua merasa bahwa dimasukkannya seorang siswa dalam program AB sebagai suatu reward  atas prestasi perilaku baik, yang secara opersional didefinisikan sebagai konformitas terhadap sekolah dan mampu memenuhi  harapan seorang pengikut tes. Jadi, pendidik lebih melihat keinginan melakukan proses identifikasi  untuk memastikan kembali bahwa nilai-nilai yang ada dalam sistem sekolah mencerminkan adanya komitemn terhadap kemampuan mereka. Padahal, menurut Colangelo dan Davis, hal tersebut merupakan distorsi dari tujuan program bagi AB, sebab standar kurikulum yang ada jarang maksimalkan potensi luar biasa yang dimiliki oleh AB.
·         Screening (penjaringan)
Yaitu dengan menggunakan nilai raport terakhir
·         Selection (penyaringan)

Yaitu hasil dari test IQ dan task commitement

·         Pokok-Pokok Identifikasi AB (anak berbakat)
1.      Validitas dan Kesesuaian
Pokok utama yang terkait erat dengan identifikasi adalah validitas dengan memperhatikan tujuan program dan pelayanan. Proses identifikasi seharusnya appropriate untuk menyeleksi siswa yang membutuhkan dan akan beruntung dengan adanya pelayanan program tersebut. Contohnya, Program future Problem Solving (FPS) yang dikembangkan oleh Flack dan Feldhussen. Kemampuan dan keterampilan verbal, derajat motivasi yang tinggi, kapasitas kreatif dan keterampilan studi mandiri dilihat sebagai kemampuan dan karakteristik siswa yang membutuhkan dan memperoleh keuntungan dari program FPS tersebut. Suatu proses identifikasi yang valid akan mengikutsertakan kekuatan-kekuatan dari setiap ciri di atas.

Dengan demikian, asesmen dalam bidang studi matematika dan sains yang diperoleh dalam tes-es standar untuk program FPS di atas seharusnya menjadi kuran relevan dan akan menggambarkan proses yang tidak valid. Secara singkat, proses identifikasi haruslah menyeleksi siswa dengan kebutuhan-kebutuhan, kemampuan-kemampuan, dan kaarakteristik yang fit dengan goals dari pelayanan adanya definisi tentang keberbakatan itu sendiri.

2.      Input dari Orang Tua
Orang tua memiliki sejumlah pengetahuan yang relevan bagi prses identifikasi. Mereka memahami kemampuan, motivasi, konsep diri, dan kapasitas kreatif dari anak-anaknya secara baik. Terlebih lagi, mereka mampu melihat anak-anak dalam situasi bebas yang kurang dibatasi oleh lingkungan kelas. Orang tua sering kali memiliki informasi nyang tidak disadari oleh guru, yang dapat menjadi nilai sangat berharga dalam proses identifikasi

3.      Kombinasi Data Asesmen
Dianjurkan agar menggunakan multiple sources dan menghindari penggunaan kriteria tunggal. Pengambilan keputusan ditunda samapi seluruh data yang berkaitan dengan siswa selesai di pelajari dengan cermat. Data yang dikumpulkan bersifat objektif ataupun subjektif. Namun, masalahnya tidak mudah untuk menjumlahkannya menjadi satu, sebab skor-skor yang ini, Baldwin (1978) memiliki jawaban, yaitu dengan cara membuatnya menjadi matriks den seluruh skor dikonversikan dalam skala yang terdiri dari lima tingkatan (skor 1-5). Setelah itu, baru dijumlahkan untuk mendapat skor total keberbakatan.

Penggunaan check list dan data informal lainnya dari orang tua (parent nomination), guru (teacher nomination), dan temansebaya (peer nomination), bahkan diri sendiri (self- nomination) sebaiknya digunakan secara tepat sebagai komplemen tes dan data tentang prestasi sekolah. Guru meerupakan sumber observasi yang baik untuk perilaku kreatif siswa. Namun, tanpa adanya pelatihan bagi guru tentang karakteristik keberbakatan, data dari guru menjadi kurang berguna. Sementara itu, nominasi teman berguna untuk menggali potensi kepemimpinan dan ciri keberbakatan lainnya yang kurang dimunculkan dan terlihat oleh guru didalam kelas.

4.      Asesmen Berkesinambungan
Proses identifikasi bukan hanya dilakukan dalam satu kali proses saja, yaitu mengidentifikasi secara sederhana, memberi label dan kategorisasi AB dan Non-AB. Namun, harus dilakukan secara berkala, berkesinambungan. Hal ini perlu disadari mengingat anak akan tumbuh, berkembang, dan berubah. Talenta dan kemampuan siswa akan mengalami proses diferensiasi dan spesialisasi bersamaan dengan masuknya mereka dalam jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Oleh karena itu, prosedur identifiksasi bagi siswa SD dan SLTP/SLTA berbeda. Dalam reassesment, sebaiknya pertanyaan lebih di tujukan untuk menemukan perubahan kecakapan atau karakteristik dan munculnya talenta khusus. Untuk itu, perlu ditanyakan apakah siswa memerlukan kebutuhan khusus sehingga mebutuhkan pelayanan pendidikan khusus yang berbeda pula.

5.      Reliabilitas
Reliabilitas dari skor tes, skala rating, data observasi, dan pengukuran lainnya yang digunakan dalam mengakses AB sangat beragam sehingga ketidaktepatan selalu bisa terjadi. Skor-skor yang diperoleh dari tes inteligensi dan tes prestasi belajar kemungkinan besar reliabilitasnya tinggi.

Namun, pengukuran lain seperti prosedur nominasi, skala rating, tes kreativitas, inventori konsep diri, reliabilitasnya sangat rendah. Jadi, jika asesmen ini diulang atau dilakukan oleh pemeriksa lainnya, skornya mungkin saja berbeda. Dengan diketahuinya reliabilitas suau tes atau prosedur asesmen lainnya, dapat membantu kecermatan proses identifikasi.

6.      Ceiling Effect dan Off-Grade Level Testing
Jika suatu tes dikerjakan dengan mudah oleh seorang anak dengan tingkat usia tertentu atau suatu tes tiak mampu menunjukkan keseluruhan kemampuan anak, ini disebut Ceiling Effect.Solusi yang biasa dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan prosedur yang disebut Off-Grade Level Testing. Dalm prosedur ini, anak diberi suatu tes yang derajat kesulitannya lebih tinggi dari usia anak. Cara ini diharapkan cukup menantang anak untuk unjuk prestasi tertingginya.

Biasanya jika siswa diberikan tes prestasi baku (standarized achievment tet) yang sesuai dengan tingkatan kelasnya, siswa yang sangat berprestasi akan mampu memperoleh skor dalam persentil 95 dan ceiling effect  yang terjadi mungkin tidak akan dapat menjelaskan achievment siswa yang sesungguhnya. Oleh karena itu, agar mendapatkan gambaran individu yang sesungguhnya, mereka diberi sampel butir-butir soal yang lebih sulit. Idealnya, dalam test tertulissiswa dapat menjawab separuh dari keseluruhan soal tes dengan benar. Dengan demikian, diperoleh suatu gambaran true achievment dari siswa.

Sejak dua dekade yang lampau telah dikembangkan suatu proses tes yang interaktif, yaitu tersedia sejumlah besar bank butir soal tes. Prosedur ini bergantung pada pilihannya butir soal tes oleh siswa. Jika satu butir soal dipilih makan akan muncul butir soal lainnya yang sulit. Sebaliknya jika siswa gagal, butir soal yang muncul berikutnya adalh butir soal yang mudah. Kesudahannya secara singkat tes akan mencapai tingkat keberhasilan/ kegagalan seorang siswa.

7.      Kinerja
Proses identifikasi AB terutama berdasarkan pada assesment yang mutakhir dari seberapa baik kinerja siswa dalam tugas-tugas yang relevan di dalam keberbakatan.

8.      Uji Coba sebagai Identifikasi
Untuk menetralkan reliabilitas yang rendah dalam prosedur identifikasi, koordinator program AB sebaiknya memandang program uji coba sebagai kepajangan proses identifikasi dan menawarkan kesempatan kepada siswa sebanyak-banyaknya yang termasuk dalam kategori borderline. Mengamati kinerja para siswa dalam program uji cobba merupakan data tambahan yang berharga untuk mengakses keberbakatan yang potensial. Siswa yang dapat mencapai hasil baik dalam program, kebanyakan secara langsung mendemonstrasikan satu kriteria yang diinginkan dalam program AB. Salah satu pendekatan dalam identifikasi anak berbakat adalah dengan memberikan pelatihan pada guru tentang karakteristik AB dan pelatihan membuat struktur dalam aktivitas kelas sehingga memberikan kesempatan pada anak berbakat untuk mendemonstrasikan keberbakatannya secara optimal. Pendekatan ini dianggap efektif untuk menidentifikasi anak berbakat yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda.

·         Proses pengumpulan informasi      
Alexander dan Muia, membedakan dua kategori umum proses pengumpulan informasi dan analisis unutk pengambilan keputusan tentang siapa yang akan masuk dalam program AB.

1.      Strategi Informasi Data Objektif, yaitu dala mbentuk perolehan hasil tes dengan data yang bersifat kuantitatif. Sumber – sumber data objektif, misalnya tes intelegensi, tes prestasi belajar, dan nilai prestasi akademik. Keputusan yang diambil berupa skor, rangking atau presentase.

2.     Strategi Informasi Data Subjektif, yaitu diperoleh dari check list perilaku, nominasi oleh orang tua, guru, teman sebaya, dan diri sendiri. Kelemahan informasi data subjektif menyangkut pada soal ketepatan , konsistensi, dan keadilan dalam pengambilan keputusan.

·         Model Identifikasi
1.      Individual Education Plan Model ( IEP)
Model Rencana Pendidikan Individual ditujukan untuk menemukan anak – anak yang memiliki bakat khusus yang spesifik, yang tidak mungkin diperolehnya melalui program pendidikan di kelas regular. Jumlah anak yang tersaring hanya 2%. Metode seleksi yang digunakan adalah studi kasus, tes IQ, dan staffing. Objektif kurikulum dikembangkan untuk memberikan program yang sesuai dengan kebutuhan spesifik individu.

2.      The General Intellectual  Ability Model
Model Kecakapan Intelektual Umum ditujukan untuk menjaring siswa yang mempunyai taraf IQ tertentu agar dapat mengikuti  pelayanan program pengayaan atau akselerasi. Jumlah anak yang tersaring hanya 5%. Metode seleksi yang dipergunakan adalah tes IQ, tes kecakapan, dan check list dari karakteristik keberbakatan.

3.      The Specific Academic Aptitude Model
Model Bakat Akademik Khusus ditujukan untuk mengidentifikasi anak berdasarkan pada prestasi akademiknya dalam bidang studi tertentu, agar dapat diikutsertakan dalam program akselerasi atau program pengayaan. Jumlah anak yang tersaring berkisar antara 5-10% per bidang studi. Metode seleksi yang digunakan adalah tes baku dalam bidang studi dan rekomendasi guru.

4.      Revolving Door Identification Model (RDIM)
Model identifikasi ini dikembangkan oleh Renzulli, yaitu setaip anak yang mencapai skor tinggi pada tes prestasi baku tertentu dimasukkan ke dalam talent pool untuk diberikan berbagai program yang sesuai dengan minatnya. Jika anak mampu menunjukkan prestasi dan pengikatan diri terhadap tugas secara menonjol, anak dapat memasuki tahap berikutnya, yaitu resource program. Di sini bakat anak dieksploitasi lebih jauh oleh guru. Jumlah anak yang disaring sebanyak 20%. Metode seleksi yang digunakan bervariasi untuk memperoleh sebanyak mungkin siswa yang memenuhi syarat.

·         Proses Identifikasi
De Haan dan Wilson, menyebutkan adanya dua proses identifikasi, yaitu tahap penjaringan (screening) dan tahap penyaringan (selection).

            Dalam proses penjaringan, semua siswa yang ada dalam kelompok sasaran dites dan diobservasi, untuk kemudian diurutkan kecakapannya dari yang tertinggi hingga yang terendah menurut hasil tes dan hasil observasi. Sebaiknya digunakan penjaringan yang beragam, seperti tes intelegensi kelompok, hasil tes prestasi baku, tes kreativitas, nominasi oleh guru, nominasi oleh orang tua, nominasi oleh teman sebaya, dan nominasi oleh diri sendiri, data anak dan produk dari anak (Martinson, 1994). Hal ini dilakukan agar proses identifikasi yang dilakukan betul – betul akan memperoleh AB yang sebenarnya dan tidak akan kehilangan seorang siswa pun yang tergolong AB. Anak yang diikutsertakan dalam tahap ini adalah untuk mendapatkan anak – anak dalam top 5%. Besarnya presentase ini sesuai dengan pendapat Heck, yang merasa lebih convenient untuk menyebutkan skor kemampuan umum IQ seorang AB adalah 125.

            Pada tahap proses penjaringan, coordinator program anak berbakat telah menentukan skor batas yang digunakan untuk seorang siswa, apakah diterima dalam program AB atau tidak. Dalam model The Specific Academic Aptitude , misalnya bidang matematik, siswa yang tergolong berbakat memiliki skor pada presentil 95.

            Proses seleksi merupakan proses penetuan unutk memutuskan siswa mana-mana saja yang diikutsertakan dalam program AB. Ada baiknya digunakan studi kasus unutk menetapkan rencana pendidikan bagi siswa.

·         Identifikasi Anak Berbakat di Indonesia
            Proses identifikasi anak berbakat dengan prosedur prose penjaringan dan penyaringan digunakan di Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1983. Proses ini dilakukan di Sekolah Perintisan Anak Berbakat yang berada di bawah Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

            Mula – mula digunakan tes inteligensi kelompok, angka rapor, dan nominasi guru untuk menyaring keseluruhan populasi siswa kelompok sasaran. Penggunaan instrument ini dianggap dapat memenuhi tujuan proses penyaringan, yaitu dalam waktu yang relatif singkat dan dengan biaya seringan mungkin akan diperoleh siswa – siwa mana dari keseluruhan populasi siswa di sekolah yang memenuhi syarat untuk mengikuti tahap berikutnya, yaitu tahap penjaringan. Baru kemudian dalam tahap proses seleksi digunakan tes inteligensi individual atau yang berdiferensiasi, tes kreativitas, dan tes prestasi baku yang disusun oleh pusat pengujian Balitbang Depdikbud. Untuk menentukan siswa mana yang diidentifikasi sebagai berbakat dipertimbangkan kombinasi dari ketiga alat ukur tersebut.

            Alat tes inteligensi kelompok yang sering digunakan adalah Progressive Matrices, Culture Fair Intelligence Test, Tes Inteligensi Kolektif Indonesia, sedangkan tes Inteligensi individual yang banyak digunakan adalah Wechsler Intelligence Scale for Children.

            Untuk mengidentifikasi taraf pemikiran kreatif, alat tes yang digunakan berasal dari Tornance Test of Creative Thinking dalam bentuk verbal dan bentuk figural, yang lebih dikenal sebagai Tes Kreativitas Verbal dan Tes Kreativitas Figural. Kedua tes ini untuk pertama kalinya dikonstruksi oleh Utami Munandar dalam penulisan disertasinya Creativity and Education tahun 1997.
            Untuk pengikatan diri terhadap tugas, indicator yang mula – mula digunakan dalam penjaringan siswa berbakat intelektual pada Sekolah Perintis Keberbakatan oleh Prof. DR. Utami Munandar adalah angka rapor, pada bidang studi tertentu. Namun kemudian, saya berinisiatif untuk mengukur pengikatan diri terhadap tugas melalui suatu alat dalam bentuk skala yang dikonstruksikan dari pemahaman-pemahaman yang ada dalam pengikatan diri terhadap tugas itu sendiri,

            Untuk itu, sejak tahun 1994 telah digunakan inventori pengikutan diri terhadap tugas, seperti (Skala TC-Rendi) untuk murid sekolah dasar dan (Skala TC-YA/FS Revisi) untuk siswa SMU. Kedua skala tersebut berasal dari alat yang disusun untuk penelitian bagi keperluan penyelesaian penulisan disertasi dan tesis. Selanjutnya, atas inisiatif penulis, skala pengikatan diri terhadap tugas tersebut diberi kode yang diambil dari mana pembuat alat. Misalnya, Skala TC-YA/FS disusun oleh Fadhillah Suralaga, yang saat itu dalam pembimbingan penulis untuk menyelesaikan tesis guna meraih gelar Magister Sains dalam bidang Psikologi Pendidikan. Alat yang ia susun itu sebagian besar berasal dari butir – butir soal dalam alat yang disusun oleh Yaumil A. Achir untuk keperluan disertasinya. Butir – butir soal yang masih valid dan ditambah dengan butir – butir soal yang ia buat sendiri menjadi cikal bakal Skala TC-YA/FS. Setelah mendapat persetujuan dari mahasiswa yang bersangkutan bahwa alat yang disusunnya tersebut akan digunakan dalam praktik, saya segera memberi kode pada skala itu, yang tujuannya untuk mengingatkan saya pada asal usul penyusunan skala tersebut.

            Selain instrument di atas, digunakan pula Format Pencalonan Siswa Berbakat oleh guru. Untuk tingkat sekolah dasar meliputi sepuluh ciri keberbakatan dan sekolah menengah meliputi empat belas ciri keberbakatan. Dua nama yang paling unggul dinilai kembali oleh guru melalui suatu Format Penilaian Siswa Berbakat, yang meliputi empat bidang ciri, yaitu ciri – ciri belajar, ciri – ciri tanggung jawab terhadap tugas, ciri – ciri kreativitas, dan ciri – ciri kepemimpinan.

·         Identifikasi AB dalam Program Akselerasi
Berikut ini disampaikan profil skor batas AB yang tergolong midly gifted (IQ 115-129) dengan pendekatan multikriteria Renzulli, yang biasa digunakan penulis dalam praktik indetifikasi di sekolah dasar dan sekolah menengah untuk pelayanan pendidikan kelas khusus.

            Bagi AB murid sekolah dasar, taraf kecerdasan IQ 120 ke atas (Skala Wechsler), taraf kreatif CQ 110 ke atas (Skala TKFUM), dan taraf pengikatan diri terhadap tugas TC 132 ke atas (Skala TC-Rendi).

            Namun, khusus untuk program akselerasi, sebagian besar literarur yang menjadi referensi ditetapkan batas minimal IQ adalah 130. Dengan perkataan lain, siswa akseleran tergolong  dalam moderate gifted (IQ = 130 – 145).
            Jika saat ini pemerintah melalui Direktorat PLB menetapkan skor IQ siswa akselerasi = 125, penulis kira masih bisa ditoleransi dengan pemahaman bahwa angka ini merupakan batas minimal. Untuk menjaga kualitas siswa akseleran, penulis berharap sekali agar pihak penyelenggara memperhatikan dan menaati ketentuan dalam identifikasi ini. 

Pelayanan Bagi Anak Berbakat
Sesuai dengan iklim demokratisasi indonesia yang tengah berkembang di Indonesia, layanan pendidikan bagi anak berbakat pun perlu mendapatkan perhatian yang proporsional. Kapasitas intelektual mereka yang tinggi dan ciri-ciri kepribadian yang dimilikinya tidak sama dengan anak yang memiliki kategori rata-rata/ normal.

Keberbakatan mencakup spektrum yang cukup luas, sementara saat ini yang diakomodasi baru keberbakatan intelektual. Untuk masa depan, pemerintah perlu memikirkan model layanan pedidikan lain dalam bidang keberbakatan. Model-model teersebut anatar lain sebagai berikut:

1.      Akselerasi Bidang Studi
Dimasa mendatang, akselerasi hanya bisa untuk satu mata pelajaran yang menonjol dan sangat dikuasai siswa. Model pelayanan seperti ini disebut akselerasi di bidang studi.

2.      Mentorship
Akselerasi tidak harus melayani lima belas orang siswa persekolah yang memenuhi syarat. Seandainya hanya ada satu orang siswa, sekolah harus mampu melayani karena hal tersebut memang terkait dengan hak asasi siswa sebagai individu. Model pelayanan ini dikebal dengan mentorship atau yang dikenal self paced instruction.

3.      Sistem Kredit
Teknik pelayanan akselerasi juga bisa dilakukan secara sistem kredit. Semua tipe pelayanan akselerasi di atas hanya mungkin bisa dilakukan setelah sekolah mengenal pentingnya layanan pendidikan bagi anak berbakat ini.

4.      Pengayaan Materi pada Mata Pelajaran Tertentu
Jika akselerasi membuat anak dalam satu kelas bersifat khusus dan eksekutif , bisa dibuat dengan cara pull out program, yaitu hanya pada hari tertentu saja, atau pada mata pelajaran tertentu saja pengayaan diberikan pada siswa. Selebihnya siswa berada dalam satu kelas dengan anak lainnya.

5.      Kelas Super Saturday
Pelayanan belajar bagi anak berbakat dalam bentuk kelas super Saturday, yaitu pengayaan materi yang dilakukan setiap hari sabtu dalam berbagai bidang diluar mata pelajaran yang diberikan, misalnya tentang kelautan, psikologi, meteorologi, penulisan kreatif, dan penyutradaraan. Hal ini juga menarik karena membuat anak tidak jenuh karena hanya terkooptasi dengan masalah pelajaran yang merangsang aspek kognitifnya saja. Pran ini bisa diambiloleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Inagate center (Indonesia Gifted and Talented Education Center), yang didalamnya ada berbagai individu dari latar belakang disiplin  ilmu yang berbeda dan ingin melakukan legiatan khusus pengayaan dari berbagai jenis keberbakatan.

6.      Pendirian Pusat Keberbakatan
Bidang-bidang bakat lainnya tidak kalah penting. Untuk itu, pemerintah akan berupaya membangun semacam pusat keberbakatan di masa mendatang. Lembaga ini akan mewadahi dan memberikan pelayanan terhadap anak berbakat kesenian, berbakat kebudayaan, berbakat olahraga, dan lain-lain termasuk berbakat intelektual. Lembaga ini berlokasi di tiga wilayah, yakni Indonesia bagain Timur, Tengah dan barat.

7.      Sertifikasi bagi Guru Pengajar Gifted
Hal lain yang menjadi perhatian pemerintah ke depan adalah masalah kependidikan bagi guru. Di Amerika serikat, guru yang mengajar bersertifikat khusus bagi gifted. Sertifikasi ini penting untuk menjaga kualitas layanan pendidikan, jangan sampai guru yang mengajar tingkat kemampuan intelektualnya kalah dengan siswa. Guru juga harus dipacu untuk terus belajar, bahkan sampai meraih gelar strata 3 (Doktor). Di Amerika Serikat, guru yang mengajar untuk kelas anak berbakat sudah dikembangkan ke arah itu. Caranya adalah bekerja sama dengan perguruan tinggi, misalnya Universitas Indonesia perlu mengembangkan Pusat Keberbakatan (Center of Gifted Education). Lembaga ini tidak saja melakukan penelitian, tetapi membuka juga pendidikan Lanjutan (continuining edducation) bagi guru. Dalam keperluan ini pula, pemerintah turut mendukung usaha untuk dibukanya Program Magister Psikologi Terapan khusus Keberbakatan.

Keberbakatan dan Kreativitas Dalam Perspektif Islam Kreativitas
Jika kita membaca riwayat hidup filosof-filosof, Nabi-Nabi, pembaharu-pembaharu masyarakat, selalu kita berjumpa dengan siksaan dan penderitaan yang mereka alami sebab, mereka berbeda atau menentang masyarakat banyak. Banyak diantara mereka di bunuh, dipenjarakan, dicaci, dimaki dan lain-lain, tetapi sebab mereka berbeda percaya bahwa apa yang di bawanya itu adalah benar, maka mereka berani menanggung sengsara itu semua. Tetapi ternyata kemudian fikiran-fikiran yang dibawa oleh filososf, Nabi-nabi, ulama-ulama, ahli-ahli pikir sains dan lain-lain itulah yang kekal, sedang orang-orang yang menentang, hilang satu persatu tidak disebut oleh sejarah. Oleh sebab itu negara-negara modern sekarang ini sadar bahwa mengabaikan kreativitas yang ada pada kanak-kanak ini adalah suatu kerugian besar bagi bangsa dan negara. Malah mengembangkan dan memeliharanya adalah suatu tugas nasional yang harus di pikul oleh pendidik-pendidik. Disinilah kita lihat bagaimana konsep pengajaran kanak-kanak yang mempunyai kreativitas ini perlu dikenal bagi tiap guru-guru, supaya guru itu dapat menjadi pembuka jalan bagi perkembangan kreativitas kanak-kanak yang dididiknya, bukan orang yang menjadi penghalang  kreativitas tersebut.

Dalam konteks sekolah, perkembangan kreativitas kanak-kanak bukan hanya bergantung pada guru-guru, tetapi juga pada pemimpin-pemimpin terutama kepala sekolah, penilik-penilik sekolah dan lain-lain, orang yang bertanggung jawab disekolah.

Jika ingin melihat lebih luas lagi orang tua dirumah, pemimpin-pemimpin masyarakat semua boleh dianggap turut bertanggung jawab atas perkembangan kreativitas ini pada kanak-kanak.
Kreativitas sendiri mengikuti William Blake “some source of spiritual energy in whose exercise we experience in some way the activity of god”.

Dalam pendidikan islam kita pelajari bahwa kreativitas (Creativity) merupakan salah satu sifat Allah “AL-Khaliq” yang dapat dikembangkan pada diri manusia, dan itu menurut filosof islam, dianggap ibadah dalam pengertiannya yang sangat luas.

Jika kreativitasa ini memang merupakan potensi asal manusia, maka peengembangannya merupakan tugas utama pendidik-pendidik termasuk calon-calon guru yang akan dikeluarkan oleh perguruan-perguruan dan universitas. Berkenaan dengan latihan guru ini peerlu difokuskan pada dua aspek saja, yaitu program pendidikan guru dan program pendidikan dalam perkhidmatan (inservice).

·         Dalam Perspektif Islam
o   Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. (Qs.Al-Israa: 21)

o   Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-an’am:165)

o   Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu. (Qs. Al-anfaal:53)

o   Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, (Qs. Al-Insyirah:05)

o   Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Qs. Al-Baqarah:219)

o   Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS: Ar-Ra'd Ayat: 11)


DAFTAR PUSTAKA
Reni Akbar, Hawadi. 2004.AKSELERASI . A-Z program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta : PT. Grasindo Anggota Ikapi
Langgulang, Hasan. Prof.DR. 1995.MANUSIA DAN PENDIDIKAN: Suatu analisa psikologi dan pendidikan (Cetakan III). Jakarta : PT. ALHUSNA ZIKRA
Colangelo, N., Davis, G.A. 1991. Handbook of Gifted Education


No comments:

Post a Comment