Wednesday 13 July 2016

Psikologi Faal : Gerak Refleks (2)

Pembahasan Psikologi Faal : Gerak Refleks ini akan dibagi menjadi 2 postingan, isian tiap posting dari mater Gerak Refleks ini adalah :

1. Gerak Refleks (Otot dan Pergerakan, Otot Cepat dan Lambat, Pengendalian Otot Melalui Proprioresptor, Refleks Pergerakan,   Gerakan volunter dan involunter,   Gerakan yang Memiliki Sensitivitas Berbeda terhadap Umpan Balik),  Otak terkait Gerak dengan Tubuh
2. Gangguan Pergerakan dan  Fisiologi Nyeri

Langsung Ke pembahasan





D.    GANGGUAN PERGERAKAN
  Beberapa gangguan saraf menyebabkan gangguan pergerakan yang berlebihan dan berlangsung lama, berikut penyakitnya :
·         Penyakit Parkinson
Gejala penyakit Parkinson meliputi kekakuan otot, tremor otot, pergerakan yang lamban, dan sulit untuk memulai kegiatan fisik dan mental. Penderita penyakit Parkinson juga lamban dalam melakukan tugas kognitif, misalnya membayangkan sebuah peristiwa atau tindakan, bahkan ketika mereka tidak perlu melakukan pergerakan apapun. Pada tahap awal, sebagian besar penderita mengalami depresi dan banyak yang memperlihatkan gejala kekurangan ingatan dan nalar. Gejala-gejala mental tersebut mungkin merupakan bagian dari penyakit Parkinson, bukan hanya reaksi terhadap kegagalan ( pergerakan ) otot.

Penderita penyakit Parkinson tidak lumpuh atau lemah, mereka hanya tidak mampu menginisiasi pergerakan spontan tanpa adanya stimulus yang memandu tindakan mereka. Secara mengejutkan penderita penyakit Parkinson dapat berjalan luar biasa baik ketika mengikuti sebuah parade, berjalan mengikuti anak tangga, atau berjalan sepanjang garis yang di gambar dalam interval satu langkah.

Penyebab utama penyakit Parkinson adalah kematian neuron yang terjadi secara bertahap dan bertambah banyak seiring dengan waktu. Kerusakan tersebut terjadi khususnya di substansia nigra yang memiliki akson pelepas dopamine yang melintas ke nucleus kaudatus dan putamen. Penderita penyakit Parkinson tidak lagi memiliki akson-akson tersebut, maka hilang juga dampak dopamine yang seharusnya ada. Salah satu dampaknya dopamine adalah inhibisi terhadap nucleus kaudatus dan putamen. Dengan berkurangnya inhibisi terhadap keduanya berarti aktivitas keduanya yang berupa stimulasi terhadap globus palidus semakin meningkat. Hasil akhirnya adalah peningkatan inhibisi terhadap tamalus dan korteks serebrum.

Kemungkinan penyebab penyakit Parkinson
  Salah satu studi memeriksa penderita penyakit Parkinson adalah yang memiliki kembaran, seperti kembaran Monozigot (MZ) yang mengalami kemunculan penyakit Parkinson sebelum umur 50 tahun. Dengan kata lain, penyakit Parkinson memiliki pewarisan karakteristik yang tinggi. Tetapi apabila kembaran tersebut mengalami kemunculan penyakit Parkinson setelah umur 50 tahun, maka kemungkinan akan terjadi akan lebih rendah dan hal tersebut tidak di pengaruhi oleh kembar monozigot ataupun dizigot.

Jadi, penyakit Parkinson disebabkan oleh campuran beberapa penyebab. Mungkin satu hal yang sama di antara semua penyebab tersebut adalah hilangnya mitokondria. Apabila mitokondria sebuah neuron mengalami kerusakan yang disebabkan oleh gen, racun, atau hal lainnya, maka terdapat sebuah zat kimia yang di sebut “ a-synuclein” yang menggumpal dan merusak neuron yang mengandung dopamine. Neuron yang mengandung dopamine merupakan neuron yang paling rentan terhadap gangguan metabolisme di bandingkan neuron lain.

·         Penyakit Huntington

Penyakit Huntington (atau dikenal juga dengan nama Huntington chorea) adalah gangguan saraf akut, yang menjangkiti 1 di antara 10.000 orang di Amerika Serikat. Gejala motoric biasanya di awali dengan sentakan pada tangan dan kemudian kedutan pada wajah, lalu tremor mulai menyebar keseluruh bagian tubuh sehingga tubuh menggeletar. Secara bertahap kedutan, tremor, dan geletar yang terjadi pada tubuh penderita semakin mengganggu aktivitas berjalan, berbicara, dan pergerakan volunter lainnya. Penyakit Huntington di asosiasikan dengan adanya kerusakan otak yang bertahap dan meluas, terutama di bagian nucleus kaudatus, putamen, globus palidus, serta korteks serebrum.

Penderita penyakit Huntington juga mengalami gangguan psikologis, antara lain : depresi, gangguan ingatan, gugup, halusinasi, delusi, penilaian yang tidak tepat, kecanduan alcohol, penyalahgunaan obat, dan gangguan seksual.
Umumnya penyakit Huntington muncul diantara umur 30-50 tahun, walaupun kemunculannya juga dapat terjadi pada kanak-kanak hingga usia lanjut. Segera setelah kemunculan gejala penyakit, maka gangguan motoric dan psikologis secara bertahap akan semakin buruk dan berujung pada kematian. Semakin awal munculnya penyakit tersebut, maka semakin cepat kerusakan yang terjadi. Hingga saat ini belum ada pengobatan yang dapat mengendalikan gejala atau memperlambat laju kerusakan yang terjadi.

                     Pewaris karakteristik dan pengujian prasimtomatik

Penyakit Huntington dikendalikan oleh sebuah gen autosom dominan (artinya,bukan gen pada kromosom X atau Y ). Sebagai ketetapan, sebuah gen mutan yang menyebabkan hilangnya fungsi tubuh adalah gen resesif. Fakta bahwa gen untuk penyakit Huntington adalah gen dominan, maka hal tersebut mengindikasikan terjadinya kemunculan fungsi yang tidak diinginkan.

Bertahun-tahun sudah peneliti bekerja untuk menemukan uji prasimtomatik yang akurat, sehingga dapat mengenali apakah seseorang memiliki kemungkinan menjadi penderita penyakit Huntington. Pada tahun 1980-an, peneliti menetapkan bahwa gen penyakit Huntington barada di kromosom nomor 4, dan pada tahun 1993 peneliti telah berhasil mengidentifikasi gen tersebut.

Pengidentifikasian gen penyakit Huntington mengungkapkan protein yang dikode oleh gen tersebut, yang diberi nama Huntingtin. Huntingtin dapat ditemukan diseluruh tubuh manusia, meskipun bentuk muatannya yang ada diluar otak tidak menimbulkan pengaruh negative apapun sejauh yang diketahui. Di dalam otak, Huntingtin dapat ditemukan didalam neuron yang bukan pada membrane neuron. Bentuk abnormal protein tersebut memiliki glutamin rantai panjang, terkumpul mengelompok yang mengganggu fungsi mitokondria neuron tersebut. Oleh karena itu, neuron menjadi rentan terhadap kerusakan dari berbagai sumber.

Sel yang memiliki protein huntingtin abnormal juga gagal melepaskan neurotrifin BDNF, sel tersebut biasanya melepaskan BDNF bersama dengan neurotransmitter. Hal tersebut akan mengakibatkan gangguan terhadap sel lainnya.

Proses identifikasiprotein huntingtin abnormal dan fugsi sel ( neuron ) yang berkaitan telah memungkinkan peneliti untuk mencari obat yang dapat mengurangi pengaruh buruk penyakit tersebut. Peneliti yang menggunakan hewan berpenyakit Huntington telah menemukan sejumlah obat yang dimiliki potensi. Beberapa obat tersebut berfungsi untuk mencegah rantai glutamin berkelompok. Obat lain mengganggu kerja RNA yang berperan dalam ekspresi gen huntingtin. Akan tetapi obat yang bekerja dengan baik pada hewan, dapat juga bekerja atau tidak bekerja pada manusia. Beberapa obat bahkan hanya bekerja pada satu jenis hewan dan tidak bekerja di hewan lain. Tetapi paling tidak percobaan pada hewan berhasil mengidentifikasi beberapa obat yang memiliki potensi terhadap penyakit Huntington di manusia.    

E.     Fisiologi Nyeri
Nyeri adalah perasaan kompleks karena menyertakan sensasi, perasaan, dan emosi. Neurofisiologi dari nyeri tidaklah cukup jika di pandang dari sisi system sensori saja.

Penerimaan nyeri
Di dalam kulit dan jaringan visera tertentu terdapat ujung bebas syaraf yang berfungsi menerima sensasi nyeri. Nyeri dapat dibedakan oleh banyak unsur yang berbeda. Misal, stimuli mekanik kuat, suhu sangat tinggi atau sangat rendah, stimuli kimiawi
(zat bersifat asam) dapat menyebabkan nyeri. Reseptor nyeri biasanya memiliki nilai ambang stimulasi yang sangat tinggi, sehingga hanya rangsangan kuatlah yang sangat kuatlah yang dapat dirasakan nyeri. Oleh karena stimulus kuat tertentu biasanya sangat berbahaya (noxious), maka sensai panas disebut nosiseptor. Perlu diperhatikan bahwa setiap stimuli nosiseptif menimbulkan kerusakan jaringan dan ringan (seperti cubitan) sampai berat (misal luka bakar). Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan substansi nosiseptik local pada jaringan rusak tersebut,misal serotonin,substansi-p,histamine,peptida kinin (bradikinin dsb). Zat-zat ini pada ujung syaraf bebas,mengaktifkan sinyal nyeri.

Dua system nyeri
Ada dua system transisi nyeri ke SSP. Jika kita menginjak paku paying,kaki akan merasa sensasi tajam,kemudian baru diikuti sensasi nyeri tumpul. Sensasi tajam dan sakit menusuk berlangsung singkat,dan sumbernya dapat ditentukan lokasinya. Sensasi nyeri tumpul, berjangka waktu lebih panjang dan menyebar,terasa sakit,tetapi sumbernya lebih luas lokalisasinya, tidak lagi berupa titik.
Rasa nyeri tajam dibawa oleh serabut tebal bermyelin, rangsangan dihantar cepat (serabut tipe A-delta), sensasi nyeri tumpul, pegal, disampaikan oleh serabut syaraf tipis tak berbungkus myelin,dihantar dengan lambat (serabut syaraf tipe C). kecepatan arus nyeri dalam serabut tipe A-delta sepuluh kali lebih cepat dari pada dalam serabut tipe C. kedua serabut saraf berhenti di tanduk dorsal dan naik keatas dalam jaras spinotalamik. Serabut pembawa sinyal nyeri lambat masuk ke farmasio retikularis pada batang otak dan berkahir di thalamus. Pembawa sensasi nyeri cepat langsung naik ke thalamus dan terus ke korteks sensori. Komponen kortikal memberikan ketepatan titik lokasi pada serabut pembawa nyeri tajam. Komponen proyeksi  subkortikal ke farmasio retikularis merupakan sarana penghantar rasa nyeri tumpul-lama dan menyebar. System limbic menyertakan diri sebagai komponen perasa nyeri. Pasien dengan kerusakan korteks serebri dapat merasakan nyeri dan menderita karenanya,tetapi tidak dapat menentuksn sumber rasa nyeri.

Inhibisi Descending Nyeri
Dalam percobaan binatang,stimulasi listrik kelompok neuron tertentu di formasio retikularis terdapat serabut descending dalam kesadaran penuh tidak merasakan nyeri, meski dirangsang nyeri. Dalam formasio retrikularis terdapat serabut descending yang menekan relay sensasi nyeri tanduk dorsal ke otak. System penghambatan ini membuat hewan,manusia,tertolong mengatasi nyeri selama stress dan fight. Penghambat descending ini yang dilatih pada yang dilatih pada yoga untuk dapat menahan nyeri.

Endorphin
Penghambat nyeri lain adalah serabut descending mengaktifkan peghambat interneuron  tertentu dalam tanduk dorsal,dimana neurotransmitter peptida enkefalin (salah satu bentuk endorphin) dikeluarkan. Enkefalin menekan transmisi sinyal nyeri dengan cara mengikat molekul reseptor tertentu (reseptor opiat) yang ada di sel sinap tanduk dorsal. Ikatan ini membuat penurunan jumlah neurotransmitter substansi-p yang dikeluarkan oleh serabut nyeri afren tipe C atau menginduksi penghambatan postsinapstik dari sel relay. Analgesic morfin atau lainnya mempunyai cara kerja seperti endorphin.

Inhibisi nyeri aferen
Interneuron  tanduk dorsal dapat juga bekerja menghambat nyeri dengan cara lain. Jika bagian badan ada yang sakit,dengan menggaruk area didekatnya  akan mengurangi rasa nyeri. Garukan membuat serabut tipe saraf tipe A-alfa,yakni serabut syaraf besar  dan meneruskan sensasi taktil dengan cepat,terangsang. Rasa nyeri dihantar oleh serabut tipe C. dalam tanduk dorsal, percabangan serabut raba mengaktifkan interneuron penghambat, yang pada gilirannya akan menghambat transmisi sinap sinyal nyeri, teori ini disebut teorinpintu gerbang penghambat afern. Kesimpulannya, makin kuat sinyal taktil ditransmisikan  melalui gerbang  dalam tanduk dorsalnya,maka sinyal rendah tidak dapat masuk (yang kuat menhambat yang lemah). Teori pintu gerbang penghambatan aferen dan penghambatan oleh endorphin merupakan dasar kerja analgesia akupuntur.

Nyeri Rujukan
Nyeri dari tempat lain bisa saja sebagai nyeri bukan dari tempat asalnya terjadi karena proses konvergensi. Serabut syaraf dari beberapa area yang berbeda,dapat mengumpul (konvergensi) kedalam sel relay di tanduk dorsal sehingga rasa nyeri dari jantung misal dirasakan sebagai nyeri di lengan sampai kelingking kiri. Fenomena tersebut disebut nyeri rujukan. Nyeri rujukan sangat luas dipergunakan dalam dunia kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA

Kalat, J. W. 2010. Buku 1 Edisi 9 Biopsikologi. Jakarta: Salemba Humanika
Mardiati, R. 2010. Susunan syaraf Otak Manusia. Jakarta : CV. Sagung Seto








No comments:

Post a Comment